Nama : LUCIA
HARJANTI
Sekolah : STT Lintas
Budaya
N I M : 01041506
Mata Kuliah : Tafsir PB III
(Roma)
Dosen : Ibu Hotma
Donna Riana, M.Th
Tugas : Laporan
Baca Buku Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab
Karanngan Robert M. Grant. David Tracy
A.
Pendahuluan
Keragaman perspektif dan pendekatan
itu sering membuat orang-orang yang baru memasuki bidang ini harus berjuang
keras untuk memahami konsep-konsep yang ada dan kemudian menerapkannya. Salah
satu contoh dari kesulitan itu, dapat dilihat ketika mereka berusaha memahami
apa itu hemeneutika ? Oleh para ahli, kata tersebut sering digunakan secara
bebas dan merepresentasikan sesuatu yang berbeda pula. Selain itu, pemaknaan
kata tersebut sering dikacaukan dengan penggunaan konsep-konsep lain yang bersinonim,
yaitu interpretasi dan eksegese. Oleh karena itu, pada bagian ini, penggunaan
berbagai istilah tersebut perlu dijernihkan terlebih dahulu.
B. Interpretasi,
Hermeneutika, dan Eksegese
Secara heuristik, interpretasi,
hermeneutika, dan exegese adalah tiga istilah yang sama-sama menunjuk pada
“studi dan perkembangan berbagai metode atau prinsip-prinsip yang menolong
seseorang dalam menemukan arti dan makna dari suatu teks.”
Kata ‘interpretasi’ merupakan
serapan dari kata berbahasa Inggris: interpretation. Jika
ditelusuri lebih lanjut, kata tersebut berasal dari bahasa latin ‘interpretatio’
(yang adalah terjemahan Latin dari kata Yunani hermeneutike). Makna
dasar dari kata ‘interpretatio’ adalah mengatakan (to say),
menjelaskan (to explain) dan menerjemahkan (to translate). Dari
makna dasar tersebut, Randolp Tate mendefinisikan interpretasi sebagai “tugas
untuk menjelaskan atau menarik keluar implikasi pemahaman tersebut bagi pembaca
dan pendengar di masa kini. Jadi transformasi dari kesimpulan tersebut kepada
aplikasi atau signifikansi bagi dunia si penafsir adalah interpretasi”
Istilah yang kedua, ‘hermenautika’
(Ing: hermeneutics) berasal dari istilah dalam bahasa Yunani yaitu hermeneutike (kata
sifat) yang berasal dari kata kerja hermenoio. Sama seperti
kata interpretasi, kata hermenoio juga mempunyai
arti dasar ‘mengatakan’ (to say), ‘menjelaskan’ (to explain) dan
‘menerjemahkan’ (to translate). Dari pengertian tersebut hermeneutika
secara luas dapat didefinisikan sebagai “usaha untuk memahami segala yang
dikatakan atau ditulis oleh seseorang.” Meskipun demikian, secara
tradisional, hermeneutika dipahami sebagai ilmu yang memformulasikan berbagai
pedoman, hukum dan metode untuk menafsirkan makna asli suatu teks. Untuk
maksud tersebut, penafsir didorong untuk memulai proses penafsirannya
dengan memahami bahasa yang digunakan oleh penulis teks, termasuk gramatika,
kosakata dan gaya bahasanya. Dia memeriksa konteks linguistik, literer dan
historis. Dengan kata lain, hermeneutika tradisional dimulai dengan mengenali
bahwa sebuah teks itu dikondisikan oleh konteks sejarah. Oleh karena itu,
tak berlebihan jika dikatakan bahwa hermeneutika tradisional lebih terkait
dengan persoalan metodologi.
Pergeseran yang sangat berarti
terjadi pada abad ke-19, ketika berbagai teori filsafat tentang pemahaman dan
makna dibawa masuk ke dalam pelbagai teori interpretasi kesusasteraan. Di
tangan Schleirmacher, Wilhalm Dilthey, Martin Heidegger dan Hans-George
Gadamer, dan Paul Ricoeur, hermeneutika berubah wajah dari sekedar metodologi
menjadi filsafat. Di tangan tokoh-tokoh tersebut, tugas hermeneutika tidak lagi
menyusun sekumpulan dalil untuk memahami sebuah teks, namun mengidentifikasi
bagaimana sesuatu yang berasal dari masa lalu bisa ‘bermakna’ pada hari ini
atau menjadi berarti secara eksistensial di dunia modern. Dengan
mengeksplorasi gagasan lingkaran hermeneutika (hermeneutic circle), para
pemikir tersebut tidak hanya berkutat pada teks dan maknanya, tapi juga menaruh
perhatian pada si penafsir. Bagi mereka, teks dan penafsir adalah dua entitas
yang berhubungan secara dialogis. Sebab setiap teks pada dasarnya ditulis
dengan suatu horison atau cakrawala pemahaman tertentu yang terikat dengan
sejarah. Hal yang sama juga terjadi pada si penafsir, si penafsir
juga terikat dengan horison tertentu. Karena penafsir dan teks sama-sama
memiliki horison, maka tindakan penafsiran adalah proses peleburan dua horison
lewat cara yang dialogis. Berpijak pada konsep lingkaran hermeneutis itulah
maka pada masa kini “hermeneutikadimulai dengan pengakuan bahwa kondisi
historis mempunyai dua sisi: penafsir modern, tidak lebih dari sebuah
teks, berada diatas konteks sejarah dan tradisi.” Dari
situ hermeneutika kemudian didefinisikan dalam pengertian yang terbatas
yaitu “penjelasan tentang makna sebuah teks bagi pembaca masa kini.”
Istilah yang ketiga, eksegese,
juga berasal dari Yunani exegesis. Kata benda exegesisberasal
dari kata kerja exegeomai yang berarti ‘memimpin’, ‘menuntun’,
‘mengeluarkan.’ Secara literal, eksegese berarti ‘membawa
keluar’ atau ‘mengeluarkan.’ Apabila dikenakan pada tulisann, kata tersebut
berarti "membaca atau menggali" arti tulisan-tulisan itu. Sama
halnya dengan kata interpretasi dan hermeneutika, kata eksegese juga dipahami
sebagai “artikulasi atau penemuan makna teks yang didasarkan pada pemahaman
akan maksud dan tujuan dari penulis teks tersebut.”
Kemiripan makna dari istilah
interpretasi, hermeneutika dan eksegese tersebut membuat konsep-konsep tersebut
sering disamakan. C.F. Evans, misalnya, mengatakan bahwa “hermeneutika hanyalah
kata lain dari eksegese atau interpretasi.” Hal yang sama juga dilakukan oleh
Robert M. Grant dan David Tracy. Keduanya berpendapat:
karena kata ini [hermeneutika] kalihatannya telah
hilang dalam penggunaan bahasa Inggris umum, maka kita memakai kata
penafairan/interpretasi, kata yang lebih luas, untuk menggantikannya. . .
. Perbedaan kadang-kadang dibuat antara penafsiran/interpretasi
dan eksegesis. . .
. Dalam studi kita, kita cenderung untuk menolak perbedaan
ini dan memakai dua istilah ini dengen arti yang sama.
Karena kemiripan dan penyamaan tersebut, tak
mengherankan jika makna dari ketiga istilah tersebut sulit ditentukan. Padahal
pembedaan di antara ketiganya sangat penting untuk memahami hakekat
penyelidikan Alkitab dan apa yang hendak dicapai oleh para peneliti ketika
menggunakan prosedur-prosedur penyelidikan yang khusus.
Hermeneutika adalah ilmu tentang
interpretasi. Sebagai ilmu, hermeneutika menyelidiki interpretasi dari tiga
sisi.: ontologis, epistemologis dan metodologis. Oleh karena itu
Hermeneutika tidak melulu bicara soal teks dan maknanya. Ia juga mempersoalkan
interpretasi (apa itu interpretasi), pengetahuan yang dihasilkan interpretasi ,
dan metode interpretasi. Selain itu hermeneutika juga menyelidiki “keberadaan
si penafsir—apa asumsi-asumsinya, prakondisinya, apakah kondisinya sedang
berada dalam kondisi yang baik atau tidak, apa aktifitasnya, komitmen utama dan
komponen manusiawinya, dll. yang masuk dan bahkan menentukan setiap tindak
pemahaman manusia.” Oleh karena itu hermeneutika akan selalu mengatakan
“proses penafsiran dijalankan dengan teknik dan pra-paham berikut ini.”
Sementara itu, interpretasi dipahami
sebagai proses dan produk. Sebagai proses, interpretasi adalah sebuah
kegiatan untuk menjelaskan dan memahami (explanation and understanding)
sebuah teks. Ia adalah jalan menuju makna suatu teks. Sementara itu
sebagai produk, ia menunjuk pada makna yang berhasil ditetapkan dan yang hendak
dikomunikasikan kepada pembaca/pendengar masa kini.
Penjelasan (eksplanasi) dan
pemahaman (undersanding) adalah dua momen yang berbeda dari proses
interpretasi, tapi berhubungan secara dialektis. Penjelasan adalah momen yang
menunjuk pada proses penyelidikan teks secara metodis dengan menggunakan
teknik-teknik tertentu dengan tujuan untuk menemukan makna sebuah teks dan
menjernihkannya dari unsur-unsur yang mengaburkannya. Sedangkan pemahaman
adalah istilah yang lebih kompleks lagi. Ia punya dimensi ontologis dan
epistemologis. Di tataran epistemologis, pemahaman menunjuk
pada bekerjanya kognisi manusia untuk mengetahui sesuatu. Dimensi epistemologis
ini bersifat sekunder. Ia perlu ditransformasikan ke arah yang lebih primer,
yaitu dimensi ontologis dari pemahaman, sebab pada dimensi ini, pemahaman
menjadi karakteristik manusia yang fundamental. Ia adalah mode of
being atau cara berada manusia di dunia: “menjadi, manusia, adalah
untuk menjadi paham (to be, humanly, is to understand).” Pada dimensi
ontologis, pemahaman itu tidak sekedar usaha kognisi, tapi juga penghayatan.
Saat memahami, manusia tidak hanya tahu, tapi juga menghayati apa yang ia
ketahui itu. Oleh karena itu, ketika dimensi epistemologis dari pengetahuan
ditransformasikan ke dimensi ontologism, maka akan terjadi pula transformasi
eksistensi manusia.
Jika hermeneutika dipahami sebagai
ilmu, interpretasi sebagai proses dan produk, maka eksegese dipahami sebagai
praktek, prosedur dan metode yang digunakan oleh sesorang untuk memahami dan
menentukan makna sebuah teks. Eksegese adalah momen penjelasan (eksplanasi)
dari proses interpretasi.
C. Ilmu, Seni
dan Ilham: Hermeneutika Alkitab yang Adil
Sebagai sebuah teks yang menjadi
area penyelidikan hermeneutika, Alkitab diselidiki lewat beragam
konsepsi. Di satu sisi ada penafsir yang mengkonsepsikan Alkitab sebagai teks
yang ditulis oleh individu-individu yang diinsipirasi oleh Tuhan secara
langsung, segera dan verbal. Konsepsi semacam ini melihat Alkitab, secara
literal adalah Firman Allah. Setiap kata di dalam Alkitab berasal dari Tuhan
dan memiliki otoritas yang sama dan mutlak. Tugas penafsir karena itu hanyalah
menguraikan arti teks secara literal (yaitu arti secara leksikal, gramatikal
dan atau yang dimaksudkan oleh penulis Alkitab.). Pada umumnya konsepsi ini
dipegang oleh kaum fundamentalis.
Di sisi yang lain, ada penafsir yang
mengkonsepsikan Alkitab sebagai teks yang sama dengan teks-teks lain. Para
penafsir di kelompok ini melihat Alkitab sebagai kumpulan tulisan yang ditulis
oleh manusia dengan bahasa manusia dan berbicara tentang pengalaman manusia.
Oleh karena itu, Alkitab hanya bisa ditafsirkan dengan menerapkan semua metode,
baik metode literer maupun historis, yang digunakan untuk menginterpretasikan
teks-teks kuno lainnya.
Di antara kedua spektrum yang
ekstrem tersebut, ada posisi yang ketiga, yaitu posisi yang melihat Alkitab
adalah teks-teks yang unik. Alkitab memiliki dua dimensi, yaitu dimensi Illahi
dan dimensi manusiawi. Dimensi illahi artinya, Alkitab mengkomunikasikan apa
yang menjadi kehendak Allah kepada umat percaya. Kehendak Allah yang dinyatakan
di dalam Alkitab punya relevansi kekal. Ia relevan bagi seluruh umat manusia,
di segala tempat, era dan budaya. Sekalipun begitu, kehendak Allah itu
disampaikanNya lewat perantaraan manusia yang memiliki bahasa tertentu dan
terbatas dengan ruang dan waktu tertentu pula. Inilah yang disebut dimensi
manusiawi dari Alkitab. Dengan dimensi ini, Alkitab punya partikularitas
sejarah (historical particularity). Ia dikondisikan oleh bahasa, ruang
dan waktu, serta budaya para penulis-penulisnya.
Hakekat Alkitab yang ber-dwidimensi
ini menjadikan Alkitab sebagai ‘ruang pertemuan.’[25] Ia
menjadi tempat di mana manusia dan Tuhan saling berjumpa dan bercakap-cakap.
Dalam perjumpaan tersebut, Allah menyampaikan kehendak-Nya kepada manusia, dan
manusia menjadi semakin paham akan apa yang menjadi kehendak Allah. Lewat cara
demikian, manusia akan menjadi semakin paham apa artinya menjadi umat Allah.
Pemahaman akan Alkitab yang demikian
itu pada gilirannya juga menentukan pemahaman kita akan hermeneutika Alkitab.
hermeneutika Alkitab adalah hermenutika yang khas. Ke-khas-an hermenutika
Alkitab, tidak saja terletak pada wilayah kajiannya, yaitu Alkitab. Ke-khas-an
hermenutika Alkitab terletak pada kesediaannya untuk memasukkan unsur lain,
yaitu keterbukaannya pada dimensi Illahi. Keterbukaan pada dimensi Illahi ini
disebut Illham. Dimensi Illahi di dalam Alkitab itu bersifat rahasia. Rahasia
itu tidak bisa dipaksakan keluar dari teksnya, tetapi harus ditunggu. Saat
menafsirkan sebuah teks, penafsir perlu merenungkan teks itu dengan sabar,
penuh dengan ketenangan jiwa dan terbuka pada pimpinan Roh Kudus, sampai teks
tersebut menyingkapkan dirinya kepada penafsir.
Aspek ilham ini, berjalan beriringan
dengan aspek-aspek lain dari hermeneutika Alkitab. Sebagaimana telah
disebutkan, hermenutika adalah ilmu tentang penafsiran teks. Hermeneutika
disebut ilmu karena ia memiliki berbagai aturan, prinsip, metode dan taktik
yang diklasifikasikan ke dalam suatu system yang tersusun rapi.[26] Dengan
sistem yang tersusun rapi itu, seorang penafsir mendekati teks-teks Alkitab. Ia
menggunakan seluruh pengetahuan yang dihasilkan oleh disiplin keilmuannya untuk
memahami dan mengungkapkan makna teks-teks Alkitab. Pengetahuan itu bisa berupa
pengetahuan kebahasaan (Ibrani dan Yunani), kesusasteraan, sejarah, budaya,
sosial, dan keagamaan. Tanpa semua pengetahuan itu, tafsiran yang dihasilkan
penafsir menjadi spekulatif dan dangkal.
Di sinilah jalan bagi seni untuk
masuk di dalam hermeneutika. Setiap tindak penafsiran teks membutuhkan
imaginasi, originalitas dan kreatifitas. Tanpa semua itu semua tafsiran menjadi
objektif dan dingin. Setiap penafsir perlu melibatkan semua ciri kehidupannya
dalam setiap penafsiran. Sebagaiman seorang seniman yang menemukan
dan mengemukakan hal-hal istimewa dalam seninya, seperti itu pula seorang
penafsir dipanggil untuk menemukan dan mengemukakan hal-hal yang istimewa yang
terdapat di dalam teks yang ditafsirkannya.
Kesimpulan
Sebenarnya, disamping ilmu, hermeneutika juga memiliki
aspek seni. Sebagai sebuah bentuk komunikasi, teks-teks Alkitab bukan
sekumpulan dalil yang pasti dan dapat dihitung. Makna yang hendak
dikomunikasikan di dalam Alkitab itu bersifat dinamis. Misalnya, ketika Yesus
menyebut dirinya sebagai ‘Anak Allah.’ Perkataan ini tidak bisa kita pahami
bahwa Yesus adalah orang yang dilahirkan oleh Allah sendiri. Juga bukan berarti
bahwa Yesus adalah sosok yang diangkat sebagai anak oleh Allah (anak angkat).
Sifat dinamis dari teks-teks Alkitab ini, menjadikan hermeneutika sebagai ilmu,
tidak secara otomatis bisa diterapkan untuk memahami makna teks Alkitab. Tidak
jarang, prinsip-prinsip hermenutika yang diterapkan secara kaku dan mekanis
membuat makna teks-teks alkitab menjadi terdistorsi.
No comments:
Post a Comment
Official Virgozta