Monday, June 12, 2017

Tugas Meringkas Buku Dogmatika Masa Kini Karangan G.C van Niftrik & B.J. Boland



Nama               : SURIYAH S
N I M              : 01041504
Sekolah           : STT Lintas Budaya
Mata Kuliah    : Dogmatika IV (Eklesiologi)
Dosen              : Ibu Hotma Donna Riana, M.Th
Tugas              : Meringkas Buku Dogmatika Masa Kini  
                          Karangan G.C van Niftrik & B.J. Boland


1.      Istilah ' 'dogmatika" Istilah '
'Dogmatika" berasal daripada kata Yunani dogma, jamaknya ialah dogmata. Kata itu mula-mula berarti pendapat atau pandangan, kemudiannya terutama pemandangan atau ajaran pada lapangan filsafat. Selanjutnya kata dogma berarti juga: keputusan atau apa yang sudah diputuskan. baik oleh seseorang maupun oleh sesuatu persidangan. Oleh karena keputusan seperti itu biasanya diumumkan, maka arti kata dogma menjadi: peraturan, perintah, pengumuman dan sebagainya. Katakeöanya ialah dogmatizo, artinya merumuskan sesuatu pendapat atau dalil- ajaran, mengumumkan sesuatu keputusan atau perintah.
Orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani telah mempergunakan kata dogma itu pada lapangan keagamaan, misalnya untuk hukum - hukum dan aturan - aturan sebagaimana terdapat di dalam Perjanjian Lama (Hukum Taurat). Dalam arti yang demikian, kata tersebut dipergunakan juga oleh rasul Paulus (Kol 2: 14, 20; Ef 2:15). Di dalam Perjanjian Baru kata dogma kita temui juga dalam arti: hukum-hukum, perintah-perintah atau peraturan-peraturan dari pihak pemerintah (Luk 2: 1; Kis 17:7; Ibr 1 1:23).
Di kalangan Jemaat Kristen, kata dogma sudah segera mendapat arti yang istimewa. Di dalam Kis 16:4 dikatakan tentang "dogmata" yang ditetapkan oleh pimpinan Jemaat Kristen di Yerusalem. Sesudah zaman para rasul kata itu dipakai juga untuk ajaran yang telah diberikan oleh Tuhan Yesus. Di dalam tulisan-tulisan dari zaman itu kita jumpai ungkapar. ' 'dogmata Tuhan" atau "dogma Injil" (Injil adalah Berita tentang Yesus Kristus). kemudiannya timbul pula "dogmata Gereja".
Demikianlah arti kata dogma itu lama kelamaan menjadi seperti artinya yang sekarang, yakni suatu dalil-ajaran, suatu rumusan tentang sesuatu kebenaran keagamaan, suatu pasal kepercayaan dari Gereja Kristen. Maka dari pengertian yang terakhir inilah berasal istilah dogmatika dan kata-sifatnya dogmatis secara dogmatika). Jadi, dapat dikatakan: bagian dari ilmu theologia yang kita sebutkan "dogmatika" itu ada sangkut pautnya dengan isi pengakuan iman Gereja Kristen.

2.      Hubungan kita dengan Gereja sedunia dan sejarah Gereja
Salah satu keberatan yang sering dikemukakan tentang dogmatika ialah anggapan, bahwa bahan-bahannya adalah "barang import", lagipula sebuah ' 'warisan" dari sejarah yang lampau, sehingga kita kini dan di sini tak perlu mempedulikannya. Bukankah kita ingin mulai dengan "blangko" dan tidak mau ambil pusing dengan pertengkaran-pertengkaran dogmatis yang berasal dari sejarah Gereja-gereja lain? Tetapi tidak mungkin kita mulai dengan "blangko"! Dan tentang hal itu tak perlulah kita terlampau mengeluh. Isi dogmatika tidaklah merupakan suatu himpunan dogma-dogma yang hendak disodorkan begitu saja kepada kita! Dogmatika itu pertama-tama bermaksud untuk membuat kita sendiri berpikir, dan mendorong kita mengadakan penyelidikan secara kritis ("kritis berasal dari kata Y unani" yang berarti: memisahkan, menapis, mempertimbangkan, menilai dan sebagainya).
Apakah yang kita selidiki secara kritis di dalam ilmu yang disebutkan dogmatika itu? Jawabnya: apa yang dulu dan di tempat-tempat lain telah diberitakan oleh Gereja, dan apa yang kini dan di sini diberitakan ataupun harus diberitakan oleh Gereja itu. Gereja mempunyai sejarah dan selalu berada "di tengah jalan", selalu bergerak (harus selalu bergerak!). Sejarah Gereja sebagian besarnya merupakan sejarah dari dogmatika ataupun sejarah dari 'pemikiran dogmatis". Jadi dogmatikapun mempunyai sejarah dan selalu berada di tengah jalan, selalu bergerak (harus selalu bergerak!). Kepada kita akan nyata, bahwa "berdogmatika" adalah usaha yang hangat sekali. Bahkan sejarah yang lampau itu juga adalah tetap aktuil (hangat) bagi kita kini. Dan Gereja Kristen adalah Gereja sedunia. Tidaklah dapat kita menjauhkan diri dari perkembangan-perkembangan yang berlangsung di bagianbagian lainnya itu. Marilah kita sebutkan beberapa contoh, yang dapat menginsafkan hal itu kepada kita.
Pergerakan-pergerakan besar di dalam sejarah Gereja senantiasa berlangsung sejalan dengan pergerakan-pergerakan besar di lapangan dogmatika. Dan akibat-akibatnya seringkali terasa di seluruh Gereja sedunia. Ingatlah misalnya akan Pembaruan Gereja di Eropa pada abad ke-16. Adanya Pembaruan Gereja itu tidak dapat kita berpura-pura tidak mengetahuinya. Dan sejarah Gereja berlangsung terus, pun sesudah Pembaruan itu. Tidaklah dapat Gereja-gereja Protestan berhenti pada (ataupun kembali kepada) abad ke-16. Tidak bisa dogmatika menjadi seperti sebuah gedung yang dapat didiami begitu saja oleh beberapa keturunan berturut-turut. Juga perkembangan-perkembangan sesudah Pembaruan itu selalu pula mempengaruhi seluruh Gereja sedunia. Sesudah suatu maså pergerakan yang hebat, seperti Pembaruan Gereja, maka biasanya mengancamlah bahaya membeku. Orang ingin "menangkap" hasil perjuangan yang demikian, lalu menjadikannya barang yang tiada bergerak. Demikianlah pada abad ke-17 di pelbagai Gereja timbul semacam orthodoxi yang berbahaya ("orthodox" artinya "lurus" atau benar di dalam ajaran tertentu; kata ini berasal dari kata-kata Yunani "orthos" = lurus, dan "doxa" = anggapan). Ajaran Gerejapun pada masa itu dituang dalam bentuk yang tetap, yang tidak berubah-ubah lagi.
Demikianlah dogmatika menjadi suatu sistim yang kokoh, yang logis (masuk akal), yang utuh. Sebagai dasar dipakai pengakuan-pengakuan iman yang tertentu, seolah-olah di dalam tulisan-tulisan itu telah dicapai, satu kali untuk selama-lamanya, ajaran yang sempuma, yang tidak bisa digangu-gugat lag. Alkitab pun dipergunakan terutama sebagai suatu himpunan ayat-ayat untuk membuktikan kebenaran-kebenaran dogmatis. akanya, sistim dogmatika itu seolah-olah berada di atas Alkitab sambil menaungi Alkitab.
Tentulah dapat kita hargai, bahwa "orthodoxi" yang demikian itu mau bertolak dari kebenaran-kebenaran yang datang dari luar, dari atas, yakni apa yang tertulis di dalam Alkitab tentang perbuatan-perbuatan Allah. Orthodoxi itu bermaksud menekankan peristiwa-peristiwa "obyektif" di dalam sejarah keselamatan ("obyektif" = mengenai sesuatu yang ada atau yang terjadi di luar kita sendiri, lepas dari pengaruh kita sendiri). Tetapi "obyektivisme" ini ada bahayanya, yaitu bahwa manusia menciptakan suatu dogmatika bagaikan sebuah gedung, yang mempunyai dasar yang baik dan atap yang tidak bocor, tetapi manusia itu sendiri tidak tinggal dan tidak hidup di dalam gedung yang indah ini, melainkan di sebuah pondok yang miskin di sampingnya! Tidakkah kita selalu pula harus waspada terhadap bahaya, bahwa pengetahuan dogmatis seolah-olah hanya berada di samping kita di dalam lemari buku-buku, dan tidak meresap ke dalam hati kita?
Sebagai reaksi atas obyektivisme itu timbullah di dalam sejarah Gereja antara lain '"subyektivisme" dari ahli theologia Jerman yang bernama Schleiermacher (1768-1834; lihat Dr. Berkhof — Dr. Enklaar, Sejarah Gereja, him. 244). Dapatlah di- katakan, bahwa Schleiermacher telah sangat mempengaruhi, malah menguasai perkembangan ilmu theologia di dalam Gereja-gereja Protestan pada abad ke-19. Berbeda dengan orthodoxi, ia tidak menitikberatkan apa yang telah dikatakan ataupun dibuat oleh Allah, akan tetapi apa yang ada di dalam manusia sendiri, yaitu perasaan batin ("subyektif = mengenai sesuatu yang ada sangkut-pautnya dengan diri kita sendiri, atau yang ada di dalam kita sendiri). Pokoknya ialah, asal manusia itu "saleh". Dan kesalehan itu dirumuskan sebagai "hal merasa diri sendiri bergantung kepada Allah". Demikianlah perasaan keagamaan menjadi titik-pangkal dan norma (ukuran) bagi dogmatika. Pemberitaan Gereja terutama dimaksudkan guna pemeliharaan perasaan batin itu.
Dapat kita hargai, bahwa ilmu theologia semacam itu mau ditujukan kepada hati manusia, bukan hanya kepada otaknya. Akan tetapi haruslah kita lihat pula bahaya-bahayanya. Kalau hanya perasaan kita yang menentukan kehidupan dan kepercayaan kita, tanpa adanya noma mutlak yang berasal dari luar, maka segeralah kita kehilarwl segala batas ajaran yang benar. Pejuangan soal kebenaran dihindari. Semboyannya menjadi: "asal saja beragama serta salehV. Yang ditekankan bukan lagi "hal menjadi Kristen", tetapi menjadi beragama". Berbagai-bagai aliran dan gerakan di dalam sejarah Gereja akan dapat dibicarakan lagi, misalnya Pietisme dan Metodisme dan theologia dari masa Pencerahan (lihat buku sejarah Gereja). Dalam mempelajari sejarah Gereja dan sejarah dogmatika, nyatalah kepada kita bahwa segala perkembangan di dalamnya masih tetap aktuil, juga bagi kita dan Gereja-gereja kita. Kita tak dapat menjauhkan diri dari sejarah, serta menyingkirkan pengaruh perkembangan-perkembangan yang berlangsung di bagian-bagian Iain dari Gereja sedunia. Apabila kita menyangka bahwa kita dapat mulai dengan "blangko", maka segeralah kita akan terdampar ke salah suatu ajaran sesat, yang hanya nampaknya bersifat bam. Siapa yang mempelajari sejarah Gereja, akan menemukan bahwa pelbagai pandangan yang pada masakini dianggap merupakan pandangan-pandangan baru, sebenamya sudah ada pada zaman yang dahulu daripada kita (Pkh 1 : 10).
Satu nama akan kami sebutkan lag di sini. Sebagaimana perkembangan ilmu theologia pada abad yang lampau dikuasai oleh Schleiermacher, demikian pulalah Gereja sedunia pada abad kita sekarang ini mengalami pengaruh seorang ahli theologia Swis, yaitu professor Karl Barth di Basel (lihat Dr. Berkhof — Dr. Enklaar, sejamh Gereja, hlm. 308). Isi buku ini sebagian besarnya dapat dijabarkan kepada gerakan, yang di lapangan dogmatika telah ditimbulkan oleh pekerjaan Barth itu. Bertentangan dengan subyektivisme Schleiermacher, pada masakiniBarth menekankan bahwa kebenaran yang hendak diusahakan oleh dogmatika adalah kebenaran yang obyektif, yang ada di luar manusia, yaitu kebenaran yang hanya kita kenal dari sebab ia dinyatakan dan kepada kita. Tetapi itu tidak berarti, bahwa Barth kembali begitu saja kepada "orthodoxi" yang tersebut tadi. Sebab kebenaran yang obyektif itu adalah suatu kebenaran yang erat sekali sangput-pautnya dengan manusia, dengan diri saya sendiri. Misalnya: kematian dan kebangkitan Kristus adalah peristiwa-peristiwa yang "obyektif", tetapi di sini! kata lain: kebenaran yang "obyektif' itu menjadi juga kebenaran yang "subyektiff, sebab saya sendiri dan hidup saya ada sunguh-suncuh ter- libat dalam peristiwa-peristiwa itu. Melalui pekerjaan Roh Kudus di dalam diri saya, dinyatakanlah kepada saya bahwa kebenaran yang "obyektif' itu menentukan segenap hidup saya, segenap eksistensi saya ("eksistensi" = segenap hidup manusia seanteronya). Itulah yang dimaksudkan bila dikatakan bahwa kita harus melakukan dogmatika secara "eksistensiil", artinya dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal-budi kita.
Di bawah pengaruh Karl Barth, kita mencoba pada masakini melakukan dogmatika dengan menginsafi dua hal yang berikut : Pertama: kita mau bertolak dari apa yang telah dibuat oleh Allah di dalam penyataanNya. Yapg merupakan soal di dalam usaha dogmatika ialah perbuatan-perbuatan Allah, yang titik-pusatnya ialah kedatangan Kristus di suatu tempat dan di suatu waktu tertentu. Kedua: mengenai penyataan Allah itu tidaklah dapat kita berbicara sebagai penonton-penonton yang netral, sebab apa yang telah terjadi di sana dan pada waktu itu merupakan kenyataan-kenyataan yang menentukan bagi kita, kini dan di sini. Dengan kata lain: kita mau berusaha untuk melepaskan diri, baik dari suatu "obyektivisme", yang bahayanya ialah bahwa dogrnatika hanya merupakan perkara akal-budi saja, maupun dari suatu "subyektivisme", yang bahayanya ialah bahwa isi dogmatika ditentukan hanya oleh perasaan hati saja. Usaha kita di lapangan dogmatika haruslah merupakan usaha yang sungguh-sungguh eksistensiil.

3.      Dogmatika dan pemberitaan Gereja
Mengapa ada Gereja Kristen di dunia ini? Gereja ada untuk memberi kesaksian tentang kebenara3n yang dari Allah. Kebenaran itu telah dinyatakan kepada kita di dalam kedatangan Yesus Kristus. "Injil" (= Kabar yang baik) tentang Yesus Kristus diberitakan oleh Gereja dengan pelbagai jalan: khotbah di dalam kebaktian, katekisasi, penyebaran tulisan-tulisan, pekerjaan sosial, seruan kepada pemerintah, dan sebagainya. Di dalam segala pekerjaan gerejani hanya itulah yang menjadi tujuan, dan hanya itulah yang merupakan hak-hidup berdirinya Gereja, yakni memberi kesaksian tentang Kebenaran yang dari Allah. Dan karena Gereja berkhotbah, memberitakan Injil, memberi kesaksian tentang Yesus Kristus, maka itulah sebabnya diperlukan usaha yang disebutkan dogmatika!
Coba kita ambil sebuah contoh yang praktis! Salah satu bentuk pemberitaan Gereja ialah apa yang tiap hari Minggu berlaku di dalam kebaktian. Apakah yang terjadi di sana? Apakah yang harus tedadi di sana? Jemaat berkumpul untuk mendengarkan Firman Allah. Jadi Jemaat berkumpul bukanlah untuk mendengarkan segala pengetahuannya yang dipertontonkannya atau segala pendapat dan pandangan pribädinya yang dipropagandakannya. Pendeta mana sebenarnya yang boleh berbuat begitu? Di atas mimbar ada terletak Alkitab yang terbuka. Di dalam kebaktian, kita berkumpul di sekeliling Alkitab, untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh Tuhan kepada kita, kini dan di sini, dengan perantaraan Alkitab itu.
Firman ini hendak dibawakan kepada kita oleh pak pendetd; ia mau berkata sebagai pelayan Firman Allah. Akan tetapi pak pendeta adalah seorang manusia biasa, yang terbatas kesanggupannya, lagipula seorang yang berdosa. Tak dapat dikatakan, bahwa "sudah barang tentu" (dengan sendirinya) ia membawa- kan firman Allah, biarpun ia mempergunakan ayat-ayat Alkitab sebagai pokok khotbahnya! Makanya di dalam lingkungan Gereja Kristen, terus menerus dilakukan dogmatika. Sebab dogmatika adalah suatu usaha untuk menjaga, supaya apa yang dikatakan di atas mimbar sana, jangan hendaknya menyimpang dari jalan yang benar. Memang, usaha itu belumlah jaminan, bahwa kita betul- betul akan mendengarkan firman Allah. Sesungguhnya hanyalah Roh Kudus saja yang dapat membuat kata-kata manusia menjadi firman yang hendak Tuhan sampaikan kepada jemaatNya. Akan tetapi kesadaran itu tak boleh membuat kita malas; kita wajib terus-menerus melakukan dogmatika. Sebab dogmatika adalah usaha yang kritis untuk menyelidiki apa yang diberitakan dan harus diberitakan oleh Gereja di dunia ini.
Jadi dogmatika bukanlah suatu mata-pelajaran yang biasa dan bukanlah merupakan seongok bahan-bahan yang harus ki- ta pelajari untuk dikétahui, seperti seorang belajar mengetik atau belajar bahasa Inggris. Tentang seseorang dapat dikatakan, bahwa ia tahu mengetik, atau ia tahu bahasa Tetapi tentang seorang pendeta tak dapat kita katakan; ia telah belajar dogmatika dan sekarang ia tahu dogmatika itu. Dogmatika bukanlah sesuatu yang kita "tahu" ataupun yang "dipelajari di luar kepala". Melakukan dogmatika adalah: terus-menerus asyik menyelidiki serta memikirkan soal-soalnya. Dogmatika adalah sesuatu yang tetap diusahakan. Atau sebenarnya harus kita katakan: dogma- tika adalah sesuatu yang dilakukan atau diusahakan oleh Gereja. Dogmatika adalah suatu Gereja. Dalam melakukan dogmatika, Gereja menanyakan diri sendiri, apa yang diberitakannya dan apakah benar-benar firman Allah yang dibertakannya itu. Jadi dogmatikapun bukanlah pembentangan ajaran Kristen terhadap yang bukan kristen misalnya. Dogmatika adalah penyelidikan sendiri yang diusahakan oleh Gereja mengenai isi pemeritaannya.
Melakukan dogmatika adalah: berusaha sungguh-sungguh supaya berlansung pemberitaan yang benar. Siapa yang berusaha untuk pemberitaan yang benar, ia berusaha untuk iman yang benar, jadi juga untuk kehidupan kristen yang benar (dogmatika tidaklah lepas dari etika!). Jadi dogmatika bukanlah terdiri dari pandangan-pandangan yang abstrak, yang teoritis, melainkan adalah usaha yang praktis sekali! Masakan orang menganggap dogmatika itu sebagai barang-barang dari musium agama! Melakukan dogmatika adalah usaha yang hangat sekali. Dogmatika itu sungguh ada sangkut-pautnya dengan masakini.
Dogmatika bukanlah juga "barang mewah", sehingga Gereja pada suatu ketika akan dapat berkata: tak sempat atau tak perlu kita berdogmatika sekarang, hal-hal lain pada saat ini lebih penting (misalnya soal-soal politik). Dogmatika adalah suatu syarat untuk kehidupan Gereja, sama seperti bernapas adalah suatu syarat untuk kehidupan manusia. Hal itu berlaku juga, malah justru pada suatu masa yang ditentukan sifatnya oleh perjuangan politik! Gereja harus senantiasa menanyakan diri sendiri, apa yang diberitakannya dan apakah ada persesuaian rohani sedemikian rupa, sehingga Kristus sendiri datang kepada kita dengan perantaraan pemberitaan gerejani itu. Dogmatika adalah usaha yang ditujukan kepada soal pemberitaan atau khotbah Gereja. Oleh sebab itu takkan pernah kita 'selesai" melakukan dogmatika. Tak boleh dogmatika itu menjadi suatu sistim yang dianggap sempuma, yang sudah menjadi "milik" kita. Tak bisa dogmatika itu kita susun dalam suatu buku atau dalam suatu pengakuan iman, lalu berkata: "Nah, sekarang sudah tercapai!" Tak dapat kita menyusun suatu tata-gereja, lalu menyimpannya di dalam arsip: nanti apabila timbul kesukarankesukaran, barulah kita keluarkan untuk dilihat-lihat. Tak dapat kita menangkap kebenaran ilahi seperti kita menangkap seekor burung, lalu mengurungnya dalam sebuah sangkar. Dogmatika adalah usaha dogmatis yang berlangsung terus-menerus. Dogmatika adalah usaha yang kritis, yang dilakukan oleh Gereja mengenai isi pemberitaannya, dan usaha itu tiada henti-hentinya.

4.      Alkitab sebagai ukuran
Dogmatika merupakan pekerjaan manusia. Di dalam usaha dogmatika. manusia mau menyelidiki kebenaran yang dari Allah. Sungguhlah itu suatu pekejaan yang berbahaya! Manusia selalu bisa keliru. Di manakah dapat kita ketemukan ukuran untuk usaha dogmatika itu?
Tentulah segera kita jawab: ukurannya adalah Alkitab! Memang benar jawaban itu. Segala sesuatu yang diberitakan dan dibuat oleh Gereja, haruslah diukur menurut kesaksian Alkitab. Itulah sebabnya Alkitab merupakan ukuran bagi usaha kita di lapangan dogmatika. Alkitab memuat kesaksian para nabi serta para rasul tentang Allah yang telah menyatakan diri-Nya di dalam kedatangan Yesus Kristus. Itulah titik-pusat Alkitab; itulah kebenaran yang dari Allah: Yesus Kristus. Kebenaran itu bukanlah suatu pandangan ataupun ajaran abstrak, yang diperoleh melalui perenungan yang dalam-dalam. Kebenaran yang dari Allah itu telah terwujud di dalam Yesus orang Nazaret. Dialah yang mempakan "Firman Allah" yang sesungguhnya. Firman Allah itu bukan hanya menjadi suatu Kitab, melainkan telah "mendaging", telah menjadi "daging", dan mempunyai suatu ngma: Yesus Kristus. Tetapi apakah yang akan kita ketahui tentang Yesus Kristus, kalau bukan Alkttab yang menceritakan tentang Dia? Siapa yang hendak memberitakan Kebenaran yang dari Allah (= Yesus Kris- tus), ia terikat kepada isi Alkitab. Sebab itu yang sangat penting di dalam melakukan dogmatika ialah exegese atau tafsiran Al- kitab.
Mungkin ada yang berkata: sudah barang tentu dogmatika itu didasarkan pada Alkitab! Bukankah Alkitab adalah dasar segala sesuatu yang termasuk agama Kristen? Lihat sajalah anggaran dasar segala perkumpulan, dewan-dewan, badan-badan dan sebagainya di lapangan kekristenan! Malah, mungkin ada yang cenderung berkata: sebenamya kita tak memerlukan dogmatika, sebab kita toh punya Alkitab! Tidakkah isi Alkitab itu lebih jelas daripada perkara-perkara dogmatika? Tambahan pula, kita semuanya setuju, bahwa Alkitab adalah Firman Allah; tetapi kalua kita mulai melakukan dogmatika, mungkin akan timbul perseli- Sihan-perselisihan........
Terhadap anggapan-anggapan sedemikian itu jawaban kami untuk sementara adalah: ungkapan "sudah barang tentu" sebenarnya tidak ada di dalam Gereja dan di dalam ilmu theologia! Juga bila kita berkata, bahwa tentulah Alkitab menjadi ukuran bagi dogmatika, belumlah kita memecahkan persoalannya. Dengan berkata begitu, belumlah berarti bahwa sudah dipecahkan segala kesukaran, tetapi justru barulah mulai. Apakah sebenarnya Alkitab itu? Bagaimanakah harus kita membaca isinya? Dapat dikatakan, bawa negara kita memiliki angkatan perang; itu tersedia baginya; angkatan perang itu negara kita bisa beroperasi. Tetapi bukan dengan cara dernikian Gereja "memiliki" Alkitab! Usaha kita di lapangan theologia adalah bersifat pergumulan yang tak habis-habisnya untuk benar-benar membiarkan Alkitab sendiri berkata-kata kepada kita. Justru itulah maksud usaha dogmatika, yakni supaya kita dengan kritisnya mempertanggung-jawabkan isi segala perkataan yang muluk-muluk dan azas-azas yang teguh oleh kita. Dalam melakukan dogmatika mungkin akan ternyata, bahwa banyak perkataan yang muluk-muluk dari pihak kita adalah sebenarnya sama sekali tak berisi apa-apa, oleh sebab kita tidak tahu mengartikannya sungguh-sungguh. Janganlah kita beranggapan, bahwa isi Alkitab dengan sendirinya sudah jelas kepada kita!
Maksud dogmatika bukanlah untuk memberikan kepada kita keterangan. Yakni dengan menyampaikan kepada kita sejumlah istilah yang sudah lazim. Justru dogmatika hendak membuat kita gelisah, dengan senantiasa mengajukan pertanyaan: kauinsafikah benar-benar apa yang kaukatakan? Dogmatika hendak membuktikan kepada kita, bahwa kita tidak selesai begitu dengan mengambil-alih pelbagai semboyan kristen yang lazim dan istilah-istilah yang terkenal. Siapa yang tidak ingin diganggu dalam segala "kepastian" yang dianggapnya ' 'sudah barang tentu" itu tak usahlah membaca buku ini. Atau lebih baik: justru dia- lah yang seharusnya membaca buku ini!
"Alkitab sebagai ukuran bagi dogmatika". Adalah penting bahwa peringatan ini dijadikan sebagai titik-pangkal untuk berdogmatika. Tetapi ke taraf "selesai" takkan pernah kita sampai, sekalipun kita sama-sama setuju tentang titik-pangkal ini!
 
5.      "Honnatilah ibu dan bapamu "
Apabila Gereja melakukan dogmatika, maka itu dilakukannya ( 1 ) dengan Alkitab sebagai ukuran (sebagaimana diterangkan di atas tadi), dan (2) dengan menaruh minat kepada dogmata Gereia yang tersimpul dalam keputusan-keputusan rapat-rapat Gereja dan dalam pengakuan-pengakuan yang tertulis. Hal yang kedua itulah yang harus menjadi pokok pembicaraan kita dalam bagian ini.
Pelbagai rapat Gereja, mulai dari abad-abad pertama dalam sejarah Gereja, telah merumuskan dogma-dogma. Ingatlah misalnya dogma tentang ' 'Allah Tritunggal" atau tentang Kristus yang "bertabiat dua dalam satu oknum". Gereja telah merumuskan dogmata seperti itu berdasarkan apa yang dimengertinya tentang Allah, tentang Kristus dan sebagainya dalam mendengarkan kesaksian Alkitab. Atau setidak-tidaknya Gereja telah menolak pelbagai ajaran sesat dengan merumuskan apa yang tidak sesuai dengan isi Alkitab. Bagaimanakah sikap kita terhadap segala dogma itu? Apakah merupakan suatu beban apa yang disodorkan kepada kita itu? Atau apakah merupakan suatu pertolongan apa yang disuguhkan kepada kita?
Jelaslah, bahwa kita tidak bisa mulai dengan, yakni dengan mengesampingkan segala dogma atau pengakuan- pengakuan iman itu. Tak boleh kita memandang-rendah terhadap pergumulan Gereja di dalam sejarah. Tak dapat kita menganggap sepi pejuangan Gereja di bagian-bagian lain dari dunia kita ini. Kalau toh kita bersikap begitu, tentulah kita terlalu sombong. Itulah sebabnya kita berdogmatika dengan menaruh minat kepada dogmata Gerejm Ada baiknya, bahwa terhadap dogma itu kita saling mengingatkan masing-masing kepada firman yang kelima dari Kesepuluh Firman, yang berbunyi: ' 'Hormatilah ibu dan bapamu!" (Kel 20:12). Sebab kita ini seperti anak-anak dari Gereja segala masa dan segala tempat. Wajiblah kita pertama-tama menghormati apa yang dulu telah dirumuskan dan yang telah dijadikan pengakuan iman oleh Gereja. Menghormati itu tidak berarti, bahwa kita "menelan" begitu saja segala dogma Gereja. Dogmatika adalah ilmu pengetahuan yang kritis, dan secara kritis menyelidiki dogmata Gereja. Tetapi pertama-tama haruslah kita sama-sama setuju, bahwa "wajiblah kita menghormati dogmata itu. Apakah faedahnya?
Sebagai Gereja, kita mau memberitakan Kebenaran yang dari Allah. Tetapi kita tak bisa. Makanya dogmatika mau menolong kita. Dengan cara bagaimana? Dengan selalu memperhatikan dogmata Gereja! Di dalam dogmata itu seolah-olah Gereja dari segala abad datang kepada kita untuk menyuguhkan pertolongannya. Untuk menolong kita, Gereja telah memmuskan dogma-dogmanya. Memang, pertolongan itupun belumlah menjamin, bahwa kata-kata kita akan sejalan dengan Firman Allah, dengan Kristus sendiri. Tetapi toh pertolongan itu penting: kita dapat dan harus berusaha, agar supaya setidak-tidaknya kata-kata kita tak seberapa merintangi firman yang Tuhan hendak sampaikan kepada jemaatNya kini dan di sini.


KESIMPULAN
Dalam mempelajari dogmatika sangat pentinglah seorang mahasiswa teologi kritis terhadap sebuah doktrin yang telah beredar dan diakui oleh sekalangan manusia yang akhirnya membangun agama dan paham diatas doktrin yang bertentangan dengan Alkitab. Buku ini menjelaskan akan perkembangan ilmu dogmatika kearah masa kini. Buku ini cukup bagus sebab penjelasan mengenai isi buku cukup bagus da mudah dimengerti.
Buku ini banyak menjelaskan akan pokok pokok penting dalam ilmu dogmatika kristen. Dalam buku ini memang penyajiannya telah bagus dan bahasanya juga mudah dimengerti namun penjelasan terhadap sub judul yang terdapat dalam buku ini kurang mendalam.


No comments:

Post a Comment

Official Virgozta