Nama : SURIYAH S
N I M : 01041504
Sekolah : STT Lintas Budaya
Mata Kuliah : Dogmatika IV (Eklesiologi)
Dosen : Ibu Hotma Donna Riana, M.Th
Tugas : Meringkas Buku Dogmatika Masa Kini
Karangan G.C van Niftrik & B.J. Boland
1.
Istilah ' 'dogmatika" Istilah '
'Dogmatika" berasal daripada kata Yunani dogma, jamaknya ialah dogmata. Kata itu
mula-mula berarti pendapat atau pandangan, kemudiannya terutama pemandangan
atau ajaran pada lapangan filsafat. Selanjutnya kata dogma berarti juga:
keputusan atau apa yang sudah diputuskan. baik oleh seseorang maupun oleh
sesuatu persidangan. Oleh karena keputusan seperti itu biasanya diumumkan, maka
arti kata dogma menjadi: peraturan, perintah, pengumuman dan sebagainya.
Katakeöanya ialah dogmatizo, artinya merumuskan sesuatu pendapat atau dalil-
ajaran, mengumumkan sesuatu keputusan atau perintah.
Orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani telah mempergunakan kata dogma itu
pada lapangan keagamaan, misalnya untuk hukum - hukum dan aturan - aturan
sebagaimana terdapat di dalam Perjanjian Lama (Hukum Taurat). Dalam arti yang
demikian, kata tersebut dipergunakan juga oleh rasul Paulus (Kol 2: 14, 20; Ef
2:15). Di dalam Perjanjian Baru kata dogma kita temui juga dalam arti:
hukum-hukum, perintah-perintah atau peraturan-peraturan dari pihak pemerintah
(Luk 2: 1; Kis 17:7; Ibr 1 1:23).
Di kalangan Jemaat Kristen, kata dogma sudah segera mendapat arti yang
istimewa. Di dalam Kis 16:4 dikatakan tentang "dogmata" yang
ditetapkan oleh pimpinan Jemaat Kristen di Yerusalem. Sesudah zaman para rasul kata
itu dipakai juga untuk ajaran yang telah diberikan oleh Tuhan Yesus. Di dalam
tulisan-tulisan dari zaman itu kita jumpai ungkapar. ' 'dogmata Tuhan"
atau "dogma Injil" (Injil adalah Berita tentang Yesus Kristus).
kemudiannya timbul pula "dogmata Gereja".
Demikianlah arti kata dogma itu lama kelamaan menjadi seperti artinya yang
sekarang, yakni suatu dalil-ajaran, suatu rumusan tentang sesuatu kebenaran
keagamaan, suatu pasal kepercayaan dari Gereja Kristen. Maka dari pengertian
yang terakhir inilah berasal istilah dogmatika dan kata-sifatnya dogmatis
secara dogmatika). Jadi, dapat dikatakan: bagian dari ilmu theologia yang kita
sebutkan "dogmatika" itu ada sangkut pautnya dengan isi pengakuan
iman Gereja Kristen.
2.
Hubungan kita dengan Gereja sedunia dan sejarah Gereja
Salah satu keberatan yang sering dikemukakan tentang dogmatika ialah
anggapan, bahwa bahan-bahannya adalah "barang import", lagipula
sebuah ' 'warisan" dari sejarah yang lampau, sehingga kita kini dan di
sini tak perlu mempedulikannya. Bukankah kita ingin mulai dengan
"blangko" dan tidak mau ambil pusing dengan pertengkaran-pertengkaran
dogmatis yang berasal dari sejarah Gereja-gereja lain? Tetapi tidak mungkin
kita mulai dengan "blangko"! Dan tentang hal itu tak perlulah kita
terlampau mengeluh. Isi dogmatika tidaklah merupakan suatu himpunan dogma-dogma
yang hendak disodorkan begitu saja kepada kita! Dogmatika itu pertama-tama
bermaksud untuk membuat kita sendiri berpikir, dan mendorong kita mengadakan
penyelidikan secara kritis ("kritis berasal dari kata Y unani" yang
berarti: memisahkan, menapis, mempertimbangkan, menilai dan sebagainya).
Apakah yang kita selidiki secara kritis di dalam ilmu yang disebutkan
dogmatika itu? Jawabnya: apa yang dulu dan di tempat-tempat lain telah
diberitakan oleh Gereja, dan apa yang kini dan di sini diberitakan ataupun
harus diberitakan oleh Gereja itu. Gereja mempunyai sejarah dan selalu berada
"di tengah jalan", selalu bergerak (harus selalu bergerak!). Sejarah Gereja
sebagian besarnya merupakan sejarah dari dogmatika ataupun sejarah dari
'pemikiran dogmatis". Jadi dogmatikapun mempunyai sejarah dan selalu
berada di tengah jalan, selalu bergerak (harus selalu bergerak!). Kepada kita
akan nyata, bahwa "berdogmatika" adalah usaha yang hangat sekali.
Bahkan sejarah yang lampau itu juga adalah tetap aktuil (hangat) bagi kita
kini. Dan Gereja Kristen adalah Gereja sedunia. Tidaklah dapat kita menjauhkan
diri dari perkembangan-perkembangan yang berlangsung di bagianbagian lainnya
itu. Marilah kita sebutkan beberapa contoh, yang dapat menginsafkan hal itu
kepada kita.
Pergerakan-pergerakan besar di dalam sejarah Gereja senantiasa berlangsung
sejalan dengan pergerakan-pergerakan besar di lapangan dogmatika. Dan
akibat-akibatnya seringkali terasa di seluruh Gereja sedunia. Ingatlah misalnya
akan Pembaruan Gereja di Eropa pada abad ke-16. Adanya Pembaruan Gereja itu tidak
dapat kita berpura-pura tidak mengetahuinya. Dan sejarah Gereja berlangsung
terus, pun sesudah Pembaruan itu. Tidaklah dapat Gereja-gereja Protestan
berhenti pada (ataupun kembali kepada) abad ke-16. Tidak bisa dogmatika menjadi
seperti sebuah gedung yang dapat didiami begitu saja oleh beberapa keturunan
berturut-turut. Juga perkembangan-perkembangan sesudah Pembaruan itu selalu
pula mempengaruhi seluruh Gereja sedunia. Sesudah suatu maså pergerakan yang
hebat, seperti Pembaruan Gereja, maka biasanya mengancamlah bahaya membeku.
Orang ingin "menangkap" hasil perjuangan yang demikian, lalu
menjadikannya barang yang tiada bergerak. Demikianlah pada abad ke-17 di
pelbagai Gereja timbul semacam orthodoxi yang berbahaya ("orthodox"
artinya "lurus" atau benar di dalam ajaran tertentu; kata ini berasal
dari kata-kata Yunani "orthos" = lurus, dan "doxa" =
anggapan). Ajaran Gerejapun pada masa itu dituang dalam bentuk yang tetap, yang
tidak berubah-ubah lagi.
Demikianlah dogmatika menjadi suatu sistim yang kokoh, yang logis (masuk
akal), yang utuh. Sebagai dasar dipakai pengakuan-pengakuan iman yang tertentu,
seolah-olah di dalam tulisan-tulisan itu telah dicapai, satu kali untuk
selama-lamanya, ajaran yang sempuma, yang tidak bisa digangu-gugat lag. Alkitab pun dipergunakan terutama sebagai suatu himpunan ayat-ayat untuk membuktikan kebenaran-kebenaran dogmatis. akanya, sistim
dogmatika itu seolah-olah berada di atas Alkitab sambil menaungi Alkitab.
Tentulah dapat kita hargai, bahwa
"orthodoxi" yang demikian itu mau bertolak dari kebenaran-kebenaran
yang datang dari luar, dari atas, yakni apa yang tertulis di dalam Alkitab tentang
perbuatan-perbuatan Allah. Orthodoxi itu bermaksud menekankan
peristiwa-peristiwa "obyektif" di dalam sejarah keselamatan
("obyektif" = mengenai sesuatu yang ada atau yang terjadi di luar
kita sendiri, lepas dari pengaruh kita sendiri). Tetapi "obyektivisme"
ini ada bahayanya, yaitu bahwa manusia menciptakan suatu dogmatika bagaikan
sebuah gedung, yang mempunyai dasar yang baik dan atap yang tidak bocor, tetapi
manusia itu sendiri tidak tinggal dan tidak hidup di dalam gedung yang indah
ini, melainkan di sebuah pondok yang miskin di sampingnya! Tidakkah kita selalu
pula harus waspada terhadap bahaya, bahwa pengetahuan dogmatis seolah-olah
hanya berada di samping kita di dalam lemari buku-buku, dan tidak meresap ke
dalam hati kita?
Sebagai reaksi atas obyektivisme itu timbullah di
dalam sejarah Gereja antara lain '"subyektivisme" dari ahli theologia
Jerman yang bernama Schleiermacher (1768-1834; lihat Dr. Berkhof — Dr. Enklaar,
Sejarah Gereja, him. 244). Dapatlah di- katakan, bahwa Schleiermacher telah
sangat mempengaruhi, malah menguasai perkembangan ilmu theologia di dalam
Gereja-gereja Protestan pada abad ke-19. Berbeda dengan orthodoxi, ia tidak
menitikberatkan apa yang telah dikatakan ataupun dibuat oleh Allah, akan tetapi
apa yang ada di dalam manusia sendiri, yaitu perasaan batin ("subyektif =
mengenai sesuatu yang ada sangkut-pautnya dengan diri kita sendiri, atau yang
ada di dalam kita sendiri). Pokoknya ialah, asal manusia itu "saleh".
Dan kesalehan itu dirumuskan sebagai "hal merasa diri sendiri bergantung
kepada Allah". Demikianlah perasaan keagamaan menjadi titik-pangkal dan
norma (ukuran) bagi dogmatika. Pemberitaan Gereja terutama dimaksudkan guna
pemeliharaan perasaan batin itu.
Dapat kita hargai, bahwa ilmu theologia semacam itu
mau ditujukan kepada hati manusia, bukan hanya kepada otaknya. Akan tetapi
haruslah kita lihat pula bahaya-bahayanya. Kalau hanya perasaan kita yang menentukan
kehidupan dan kepercayaan kita, tanpa adanya noma mutlak yang berasal dari
luar, maka segeralah kita kehilarwl segala batas ajaran yang benar. Pejuangan
soal kebenaran dihindari. Semboyannya menjadi: "asal saja beragama serta
salehV. Yang ditekankan bukan lagi "hal menjadi Kristen", tetapi
menjadi beragama". Berbagai-bagai aliran dan gerakan di dalam sejarah
Gereja akan dapat dibicarakan lagi, misalnya Pietisme dan Metodisme dan
theologia dari masa Pencerahan (lihat buku sejarah Gereja). Dalam mempelajari
sejarah Gereja dan sejarah dogmatika, nyatalah kepada kita bahwa segala
perkembangan di dalamnya masih tetap aktuil, juga bagi kita dan Gereja-gereja
kita. Kita tak dapat menjauhkan diri dari sejarah, serta menyingkirkan pengaruh
perkembangan-perkembangan yang berlangsung di bagian-bagian Iain dari Gereja
sedunia. Apabila kita menyangka bahwa kita dapat mulai dengan
"blangko", maka segeralah kita akan terdampar ke salah suatu ajaran
sesat, yang hanya nampaknya bersifat bam. Siapa yang mempelajari sejarah
Gereja, akan menemukan bahwa pelbagai pandangan yang pada masakini dianggap
merupakan pandangan-pandangan baru, sebenamya sudah ada pada zaman yang dahulu
daripada kita (Pkh 1 : 10).
Satu nama akan kami sebutkan lag di sini. Sebagaimana
perkembangan ilmu theologia pada abad yang lampau dikuasai oleh Schleiermacher,
demikian pulalah Gereja sedunia pada abad kita sekarang ini mengalami pengaruh
seorang ahli theologia Swis, yaitu professor Karl Barth di Basel (lihat Dr.
Berkhof — Dr. Enklaar, sejamh Gereja, hlm. 308). Isi buku ini sebagian besarnya
dapat dijabarkan kepada gerakan, yang di lapangan dogmatika telah ditimbulkan
oleh pekerjaan Barth itu. Bertentangan dengan subyektivisme Schleiermacher, pada
masakiniBarth menekankan bahwa kebenaran yang hendak diusahakan oleh dogmatika
adalah kebenaran yang obyektif, yang ada di luar manusia, yaitu kebenaran yang
hanya kita kenal dari sebab ia dinyatakan dan kepada kita. Tetapi itu tidak
berarti, bahwa Barth kembali begitu saja kepada "orthodoxi" yang
tersebut tadi. Sebab kebenaran yang obyektif itu adalah suatu kebenaran yang
erat sekali sangput-pautnya dengan manusia, dengan diri saya sendiri. Misalnya:
kematian dan kebangkitan Kristus adalah peristiwa-peristiwa yang
"obyektif", tetapi di sini! kata lain: kebenaran yang "obyektif'
itu menjadi juga kebenaran yang "subyektiff, sebab saya sendiri dan hidup
saya ada sunguh-suncuh ter- libat dalam peristiwa-peristiwa itu. Melalui
pekerjaan Roh Kudus di dalam diri saya, dinyatakanlah kepada saya bahwa
kebenaran yang "obyektif' itu menentukan segenap hidup saya, segenap
eksistensi saya ("eksistensi" = segenap hidup manusia seanteronya).
Itulah yang dimaksudkan bila dikatakan bahwa kita harus melakukan dogmatika
secara "eksistensiil", artinya dengan segenap hati dan dengan segenap
jiwa dan dengan segenap akal-budi kita.
Di bawah pengaruh Karl Barth, kita mencoba pada masakini
melakukan dogmatika dengan menginsafi dua hal yang berikut : Pertama: kita mau
bertolak dari apa yang telah dibuat oleh Allah di dalam penyataanNya. Yapg
merupakan soal di dalam usaha dogmatika ialah perbuatan-perbuatan Allah, yang
titik-pusatnya ialah kedatangan Kristus di suatu tempat dan di suatu waktu tertentu.
Kedua: mengenai penyataan Allah itu tidaklah dapat kita berbicara sebagai
penonton-penonton yang netral, sebab apa yang telah terjadi di sana dan pada
waktu itu merupakan kenyataan-kenyataan yang menentukan bagi kita, kini dan di
sini. Dengan kata lain: kita mau berusaha untuk melepaskan diri, baik dari
suatu "obyektivisme", yang bahayanya ialah bahwa dogrnatika hanya
merupakan perkara akal-budi saja, maupun dari suatu "subyektivisme",
yang bahayanya ialah bahwa isi dogmatika ditentukan hanya oleh perasaan hati
saja. Usaha kita di lapangan dogmatika haruslah merupakan usaha yang
sungguh-sungguh eksistensiil.
3.
Dogmatika dan pemberitaan Gereja
Mengapa ada Gereja Kristen di dunia ini? Gereja ada
untuk memberi kesaksian tentang kebenara3n yang dari Allah. Kebenaran itu telah dinyatakan
kepada kita di dalam kedatangan Yesus Kristus. "Injil" (= Kabar yang
baik) tentang Yesus Kristus diberitakan oleh Gereja dengan pelbagai jalan:
khotbah di dalam kebaktian, katekisasi, penyebaran tulisan-tulisan, pekerjaan
sosial, seruan kepada pemerintah, dan sebagainya. Di dalam segala pekerjaan
gerejani hanya itulah yang menjadi tujuan, dan hanya itulah yang merupakan
hak-hidup berdirinya Gereja, yakni memberi kesaksian tentang Kebenaran yang
dari Allah. Dan karena Gereja berkhotbah, memberitakan Injil, memberi kesaksian
tentang Yesus Kristus, maka itulah sebabnya diperlukan usaha yang disebutkan
dogmatika!
Coba kita ambil sebuah contoh yang praktis! Salah satu
bentuk pemberitaan Gereja ialah apa yang tiap hari Minggu berlaku di dalam
kebaktian. Apakah yang terjadi di sana? Apakah yang harus tedadi di sana?
Jemaat berkumpul untuk mendengarkan Firman Allah. Jadi Jemaat berkumpul
bukanlah untuk mendengarkan segala pengetahuannya yang dipertontonkannya atau
segala pendapat dan pandangan pribädinya yang dipropagandakannya. Pendeta mana
sebenarnya yang boleh berbuat begitu? Di atas mimbar ada terletak Alkitab yang
terbuka. Di dalam kebaktian, kita berkumpul di sekeliling Alkitab, untuk
mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh Tuhan kepada kita, kini dan di
sini, dengan perantaraan Alkitab itu.
Firman ini hendak dibawakan kepada kita oleh pak
pendetd; ia mau berkata sebagai pelayan Firman Allah. Akan tetapi pak pendeta
adalah seorang manusia biasa, yang terbatas kesanggupannya, lagipula seorang
yang berdosa. Tak dapat dikatakan, bahwa "sudah barang tentu" (dengan
sendirinya) ia membawa- kan firman Allah, biarpun ia mempergunakan ayat-ayat
Alkitab sebagai pokok khotbahnya! Makanya di dalam lingkungan Gereja Kristen,
terus menerus dilakukan dogmatika. Sebab dogmatika adalah suatu usaha untuk
menjaga, supaya apa yang dikatakan di atas mimbar sana, jangan hendaknya
menyimpang dari jalan yang benar. Memang, usaha itu belumlah jaminan, bahwa
kita betul- betul akan mendengarkan firman Allah. Sesungguhnya hanyalah Roh
Kudus saja yang dapat membuat kata-kata manusia menjadi firman yang hendak
Tuhan sampaikan kepada jemaatNya. Akan tetapi kesadaran itu tak boleh membuat
kita malas; kita wajib terus-menerus melakukan dogmatika. Sebab dogmatika
adalah usaha yang kritis untuk menyelidiki apa yang diberitakan dan harus
diberitakan oleh Gereja di dunia ini.
Jadi dogmatika bukanlah suatu mata-pelajaran yang
biasa dan bukanlah merupakan seongok bahan-bahan yang harus ki- ta pelajari
untuk dikétahui, seperti seorang belajar mengetik atau belajar bahasa Inggris.
Tentang seseorang dapat dikatakan, bahwa ia tahu mengetik, atau ia tahu bahasa
Tetapi tentang seorang pendeta tak dapat kita katakan; ia telah belajar dogmatika
dan sekarang ia tahu dogmatika itu. Dogmatika bukanlah sesuatu yang kita
"tahu" ataupun yang "dipelajari di luar kepala". Melakukan
dogmatika adalah: terus-menerus asyik menyelidiki serta memikirkan
soal-soalnya. Dogmatika adalah sesuatu yang tetap diusahakan. Atau sebenarnya
harus kita katakan: dogma- tika adalah sesuatu yang dilakukan atau diusahakan
oleh Gereja. Dogmatika adalah suatu Gereja. Dalam melakukan dogmatika, Gereja
menanyakan diri sendiri, apa yang diberitakannya dan apakah benar-benar firman
Allah yang dibertakannya itu. Jadi dogmatikapun bukanlah pembentangan ajaran
Kristen terhadap yang bukan kristen misalnya. Dogmatika adalah penyelidikan
sendiri yang diusahakan oleh Gereja mengenai isi pemeritaannya.
Melakukan dogmatika adalah: berusaha sungguh-sungguh
supaya berlansung pemberitaan yang benar. Siapa yang berusaha untuk pemberitaan
yang benar, ia berusaha untuk iman yang benar, jadi juga untuk kehidupan
kristen yang benar (dogmatika tidaklah lepas dari etika!). Jadi dogmatika
bukanlah terdiri dari pandangan-pandangan yang abstrak, yang teoritis,
melainkan adalah usaha yang praktis sekali! Masakan orang menganggap dogmatika
itu sebagai barang-barang dari musium agama! Melakukan dogmatika adalah usaha
yang hangat sekali. Dogmatika itu sungguh ada sangkut-pautnya dengan masakini.
Dogmatika bukanlah juga "barang mewah",
sehingga Gereja pada suatu ketika akan dapat berkata: tak sempat atau tak perlu
kita berdogmatika sekarang, hal-hal lain pada saat ini lebih penting (misalnya
soal-soal politik). Dogmatika adalah suatu syarat untuk kehidupan Gereja, sama
seperti bernapas adalah suatu syarat untuk kehidupan manusia. Hal itu berlaku
juga, malah justru pada suatu masa yang ditentukan sifatnya oleh perjuangan
politik! Gereja harus senantiasa menanyakan diri sendiri, apa yang
diberitakannya dan apakah ada persesuaian rohani sedemikian rupa, sehingga
Kristus sendiri datang kepada kita dengan perantaraan pemberitaan gerejani itu.
Dogmatika adalah usaha yang ditujukan kepada soal pemberitaan atau khotbah Gereja. Oleh sebab itu takkan
pernah kita 'selesai" melakukan dogmatika. Tak boleh dogmatika itu menjadi
suatu sistim yang dianggap sempuma, yang sudah menjadi "milik" kita.
Tak bisa dogmatika itu kita susun dalam suatu buku atau dalam suatu pengakuan
iman, lalu berkata: "Nah, sekarang sudah tercapai!" Tak dapat kita
menyusun suatu tata-gereja, lalu menyimpannya di dalam arsip: nanti apabila timbul
kesukarankesukaran, barulah kita keluarkan untuk dilihat-lihat. Tak dapat kita menangkap
kebenaran ilahi seperti kita menangkap seekor burung, lalu mengurungnya dalam
sebuah sangkar. Dogmatika adalah usaha dogmatis yang berlangsung terus-menerus.
Dogmatika adalah usaha yang kritis, yang dilakukan oleh Gereja mengenai isi
pemberitaannya, dan usaha itu tiada henti-hentinya.
4.
Alkitab sebagai ukuran
Dogmatika merupakan pekerjaan manusia. Di dalam usaha
dogmatika. manusia mau menyelidiki kebenaran yang dari Allah. Sungguhlah itu suatu pekejaan yang berbahaya!
Manusia selalu bisa keliru. Di manakah dapat kita ketemukan ukuran untuk usaha
dogmatika itu?
Tentulah segera kita jawab: ukurannya adalah Alkitab!
Memang benar jawaban itu. Segala sesuatu yang diberitakan dan dibuat oleh
Gereja, haruslah diukur menurut kesaksian Alkitab. Itulah sebabnya Alkitab
merupakan ukuran bagi usaha kita di lapangan dogmatika. Alkitab memuat
kesaksian para nabi serta para rasul tentang Allah yang telah menyatakan diri-Nya di dalam kedatangan Yesus Kristus. Itulah titik-pusat
Alkitab; itulah kebenaran yang dari Allah: Yesus Kristus. Kebenaran itu
bukanlah suatu pandangan ataupun ajaran abstrak, yang diperoleh melalui
perenungan yang dalam-dalam. Kebenaran yang dari Allah itu telah terwujud di
dalam Yesus orang Nazaret. Dialah yang mempakan "Firman Allah" yang
sesungguhnya. Firman Allah itu bukan hanya menjadi suatu Kitab, melainkan telah
"mendaging", telah menjadi "daging", dan mempunyai suatu
ngma: Yesus Kristus. Tetapi apakah yang akan kita ketahui tentang Yesus
Kristus, kalau bukan Alkttab yang menceritakan tentang Dia? Siapa yang hendak
memberitakan Kebenaran yang dari Allah (= Yesus Kris- tus), ia terikat kepada
isi Alkitab. Sebab itu yang sangat penting di dalam melakukan dogmatika ialah
exegese atau tafsiran Al- kitab.
Mungkin ada yang berkata: sudah barang tentu dogmatika
itu didasarkan pada Alkitab! Bukankah Alkitab adalah dasar segala sesuatu yang
termasuk agama Kristen? Lihat sajalah anggaran dasar segala perkumpulan,
dewan-dewan, badan-badan dan sebagainya di lapangan kekristenan! Malah, mungkin
ada yang cenderung berkata: sebenamya kita tak memerlukan dogmatika, sebab kita
toh punya Alkitab! Tidakkah isi Alkitab itu lebih jelas daripada
perkara-perkara dogmatika? Tambahan pula, kita semuanya setuju, bahwa Alkitab
adalah Firman Allah; tetapi kalua kita mulai melakukan dogmatika, mungkin akan timbul
perseli- Sihan-perselisihan........
Terhadap anggapan-anggapan sedemikian itu jawaban kami
untuk sementara adalah: ungkapan "sudah barang tentu" sebenarnya
tidak ada di dalam Gereja dan di dalam ilmu theologia! Juga bila kita berkata,
bahwa tentulah Alkitab menjadi ukuran bagi dogmatika, belumlah kita memecahkan
persoalannya. Dengan berkata begitu, belumlah berarti bahwa sudah dipecahkan
segala kesukaran, tetapi justru barulah mulai. Apakah sebenarnya Alkitab itu?
Bagaimanakah harus kita membaca isinya? Dapat dikatakan, bawa negara kita
memiliki angkatan perang; itu tersedia baginya; angkatan perang itu negara kita
bisa beroperasi. Tetapi bukan dengan cara dernikian Gereja "memiliki"
Alkitab! Usaha kita di lapangan theologia adalah bersifat pergumulan yang tak
habis-habisnya untuk benar-benar membiarkan Alkitab sendiri berkata-kata kepada
kita. Justru itulah maksud usaha dogmatika, yakni supaya kita dengan kritisnya
mempertanggung-jawabkan isi segala perkataan yang muluk-muluk dan azas-azas
yang teguh oleh kita. Dalam melakukan dogmatika mungkin akan ternyata, bahwa
banyak perkataan yang muluk-muluk dari pihak kita adalah sebenarnya sama sekali
tak berisi apa-apa, oleh sebab kita tidak tahu mengartikannya sungguh-sungguh.
Janganlah kita beranggapan, bahwa isi Alkitab dengan sendirinya sudah jelas
kepada kita!
Maksud dogmatika bukanlah untuk memberikan kepada kita
keterangan. Yakni dengan menyampaikan kepada kita sejumlah istilah yang sudah
lazim. Justru dogmatika hendak membuat kita gelisah, dengan senantiasa
mengajukan pertanyaan: kauinsafikah benar-benar apa yang kaukatakan? Dogmatika
hendak membuktikan kepada kita, bahwa kita tidak selesai begitu dengan
mengambil-alih pelbagai semboyan kristen yang lazim dan istilah-istilah yang
terkenal. Siapa yang tidak ingin diganggu dalam segala "kepastian"
yang dianggapnya ' 'sudah barang tentu" itu tak usahlah membaca buku ini.
Atau lebih baik: justru dia- lah yang seharusnya membaca buku ini!
"Alkitab sebagai ukuran bagi dogmatika".
Adalah penting bahwa peringatan ini dijadikan sebagai titik-pangkal untuk berdogmatika.
Tetapi ke taraf "selesai" takkan pernah kita sampai, sekalipun kita
sama-sama setuju tentang titik-pangkal ini!
5.
"Honnatilah ibu dan bapamu "
Apabila Gereja melakukan dogmatika, maka itu dilakukannya
( 1 ) dengan Alkitab sebagai ukuran (sebagaimana diterangkan di atas tadi), dan
(2) dengan menaruh minat kepada dogmata Gereia yang tersimpul dalam
keputusan-keputusan rapat-rapat Gereja dan dalam pengakuan-pengakuan yang
tertulis. Hal yang kedua itulah yang harus menjadi pokok pembicaraan kita dalam
bagian ini.
Pelbagai rapat Gereja, mulai dari abad-abad pertama
dalam sejarah Gereja, telah merumuskan dogma-dogma. Ingatlah misalnya dogma
tentang ' 'Allah Tritunggal" atau tentang Kristus yang "bertabiat dua
dalam satu oknum". Gereja telah merumuskan dogmata seperti itu berdasarkan
apa yang dimengertinya tentang Allah, tentang Kristus dan sebagainya dalam
mendengarkan kesaksian Alkitab. Atau setidak-tidaknya Gereja telah menolak
pelbagai ajaran sesat dengan merumuskan apa yang tidak sesuai dengan isi Alkitab. Bagaimanakah sikap kita
terhadap segala dogma itu? Apakah merupakan suatu beban apa yang disodorkan
kepada kita itu? Atau apakah merupakan suatu pertolongan apa yang disuguhkan
kepada kita?
Jelaslah, bahwa kita tidak bisa mulai dengan, yakni
dengan mengesampingkan segala dogma atau pengakuan- pengakuan iman itu. Tak
boleh kita memandang-rendah terhadap pergumulan Gereja di dalam sejarah. Tak
dapat kita menganggap sepi pejuangan Gereja di bagian-bagian lain dari dunia
kita ini. Kalau toh kita bersikap begitu, tentulah kita terlalu sombong. Itulah
sebabnya kita berdogmatika dengan menaruh minat kepada dogmata Gerejm Ada
baiknya, bahwa terhadap dogma itu kita saling mengingatkan masing-masing kepada
firman yang kelima dari Kesepuluh Firman, yang berbunyi: ' 'Hormatilah ibu dan
bapamu!" (Kel 20:12). Sebab kita ini seperti anak-anak dari Gereja segala
masa dan segala tempat. Wajiblah kita pertama-tama menghormati apa yang dulu
telah dirumuskan dan yang telah dijadikan pengakuan iman oleh Gereja.
Menghormati itu tidak berarti, bahwa kita "menelan" begitu saja
segala dogma Gereja. Dogmatika adalah ilmu pengetahuan yang kritis, dan secara
kritis menyelidiki dogmata Gereja. Tetapi pertama-tama haruslah kita sama-sama
setuju, bahwa "wajiblah kita menghormati dogmata itu. Apakah faedahnya?
Sebagai Gereja, kita mau memberitakan Kebenaran yang
dari Allah. Tetapi kita tak bisa. Makanya dogmatika mau menolong kita. Dengan
cara bagaimana? Dengan selalu memperhatikan dogmata Gereja! Di dalam dogmata itu
seolah-olah Gereja dari segala abad datang kepada kita untuk menyuguhkan
pertolongannya. Untuk menolong kita, Gereja telah memmuskan dogma-dogmanya.
Memang, pertolongan itupun belumlah menjamin, bahwa kata-kata kita akan sejalan
dengan Firman Allah, dengan Kristus sendiri. Tetapi toh pertolongan itu
penting: kita dapat dan harus berusaha, agar supaya setidak-tidaknya kata-kata
kita tak seberapa merintangi firman yang Tuhan hendak sampaikan kepada
jemaatNya kini dan di sini.
KESIMPULAN
Dalam
mempelajari dogmatika sangat pentinglah seorang mahasiswa teologi kritis
terhadap sebuah doktrin yang telah beredar dan diakui oleh sekalangan manusia
yang akhirnya membangun agama dan paham diatas doktrin yang bertentangan dengan
Alkitab. Buku ini menjelaskan akan perkembangan ilmu dogmatika kearah masa
kini. Buku ini cukup bagus sebab penjelasan mengenai isi buku cukup bagus da
mudah dimengerti.
Buku
ini banyak menjelaskan akan pokok pokok penting dalam ilmu dogmatika kristen.
Dalam buku ini memang penyajiannya telah bagus dan bahasanya juga mudah
dimengerti namun penjelasan terhadap sub judul yang terdapat dalam buku ini
kurang mendalam.
No comments:
Post a Comment
Official Virgozta