Nama : SURIYAH S
N I M : 01041504
Sekolah : STT Lintas Budaya
Mata Kuliah : Islamologi
Dosen : Ibu Sri Supena, M.Th
Tugas : Meringkas Buku Agama dan Kerukunan
Karangan DR. AA Yewangoe
A.
Haruskah Kita Memahami Pokok-pokok Ajaran Agama Lain?
Pernyataan di atas sesungguhnya
tidak mengada-ada, sebab pada waktu-waktu yang lalu berkembang pemahaman bahwa
mendengarkan apa yang dikatakan orang lain tentang agamanya merupakan hal yang
tabu. Kalaupun agama orang lain dipelajari, hal itu dilakukan tidak lebih sebagai
upaya menemukan kelemahan agama tersebut dan kemudian menaklukkannya.
Ketidaktahuan terhadap pokok-pokok ajaran agama lain itu tidak jarang membuat
orang terperangkap dalam terhadap para penganut agama yang bersangkutan itu.
B.
Indonesia Masyarakat Majemuk
Kita tidak bisa memungkiri kenyataan
bahwa Indonesia adalah sebuah negara bermasyarakat majemuk. Malah kemajemukan
itu, baik dari segi agama maupun etnis dan suku telah membentuk Indonesia. Said
Aqil Siraj, tokoh NU, dalam salah satu kesempatan misalnya menegaskan bahwa
Indonesia tanpa Islam, Kristen, Hindu dan Buddha tidak dapat dibayangkan
keberadaannya. Dengan kata lain, tidak mungkin kita menolak kenyataan bahwa
rakyat Indonesia itu terdiri dari sekian banyak kemajemukan. Kenyataan ini
membawa kita pada kenyataan lain bahwa kita tidak mungkin tetap berada dalam
isolasi-isolasi, baik yang bersifat geografis maupun mental.
Komunikasi, baik melalui radio,
televisi maupun surat-surat kabar yang dewasa ini makin lama makin canggih.
selain mobilitas penduduk yang makin lancar, membuka banyak kemungkinan
penyampaian pesan-pesan agama kepada siapa pun tanpa memandang latar agama para
pendengarnya. Contohnya TVRI, pagi-pagi sekali kita sudah disuguhi Kuliah
Subuh. Sebagai pemirsa, kita tidak akan dipaksa, melainkan bebas memutuskan
apahh mau terus mengikutinya atau tidak. Setiap hari Mingu malam kita juga
disuguhi Mimbar Agama Kristen, baik protestan maupun Katolik Selain itu ada
juga Agama Hindu, Agama Buddha, bahkan juga Mirntx,lr an Kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Melalui mimbar-mimbar seperti inilah setiap warga negara diberikan
kesempatan bukan saja untuk mendalami agamanya sendiri, tetapi juga berusaha
memahami agama-agama lainnya.
C.
Apakah Makna Memahami?
Memahami tidak mesti berarti kita
meyakini ajaran suatu agama sebagaimana penganut agama tersebut meyakininya.
Namun hal ini mengharuskan kita mencoba mengerti mengapa saudara-saudara kita
yang beragama Islam, misalnya, melakukan shalat lima kali sehari, atau
bagaimana mereka menjalankan puasa. Kita juga dapat mengerti mengapa mereka
naik haji, dengan berbagai kesulitan yang dihadapi mereka selama melakukan
ibadah itu, dan juga nikmat yang mereka peroleh apabila mereka "lulus"
dalam menjalankannya. Dengan demikian. kita dapat lebih menghargai mereka.
Terhadap yang beragama Katolik
misalnya, kita berupaya mengerti mengapa mereka menghormati hostia sebagai
Tubuh Kristus. Atau menyangkut kaum Kristen Protestan, Eta mencoba memahami
mengapa penelahaan Alkitab menjadi begitu penting dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Dan seterusnya.
Gambaran di tentu saja belum
sepenuhnya mencakup berbagai pokok penting dalam berbagai ajaran agama-agama
tersebut. Namun tidak-tidaknya. dengan pengetahuan yang sedikit, kita
dihindarkan dari pandangan-pandangan picik dan sempit mengenai agama-agama
lain, mana para penganut agama-agama itu hidup bersama dan belum diprovoksi
pihak-pihak tertentu, "dialog karya" secara spontan telah berlaku.
Perhatikan saja pada Saat
berlangsungnya hari-hari raya keagamaan. Secara spontan, penganut agama yang
satu memberi selamat kepada penganut agama lainnya tanpa mempertanyakan secara
pelik apakah ia salah atau benar kalau ia menyalami sesamanya itu. Namun sayang
sekali, fatwa yang melarang orang Islam untuk memberi selamat kepada umat
Kristen pada perayaan Natal mempersulit pengungkapan hal tersebut dalam
kehidupan bersama umat beragama. Padahal berbagai hubungan seperti ini mestinya
merupakan hubungan-hubungan wajar dalam sebuah masyarakat manusia. Dan agama
mempunyai maüu kemanusiaan itu.
Akan tetapi, apakah dengan
mengemukakan hal ini kita hendak menganiurkan sinkretisrne agama-agama? Sama
sekali tidak! Dalam sinkretisme kita mencampurbaurkan berbagai unsur dari
berbagai agama (laksana seorang tukang gado-gado yang mencampurkan banyak
sayur-mayur), dan kemudian menghasilkan sebuah "agama" baru yang sama
sekali berbeda dengan agama-agama yang sudah ada. Dengan melakukan itu kita
mengkhianati agama-agama. Karena itu, dalam perternuan penganut agama-agama
yang berbeda-beda, kita tetap menghormati integritas agama-agama tersebut.
D.
Agama Bersifat Ambigu
Agama memang bersifat ambigu, sebab
dapat sekaligus membebaskan dan memperbudak penganutnya. Aloysius Pieris.
rohaniwan Katolik dari Sri Lanka, menegaskan ambiguitas agama ini dalam banyak
tulisannya.
Menurutnya, dalam wajahnya yang
psikologis, watak memperbudak agama terwujud dalam takhayul, ritualisme,
dogmatisme dan transendentalisme, sedangkan dalam wajahnya yang secara
sosiologis memperbudak. agama cenderung mengabsahkan suatu struktur status quo
yang menindas. Di pihak lain, wajah agama yang secara psikologis membebaskan
dapat dilihat dalam pembebasan batin dari dosa (mamon, antiAllah. naluri-naluri
memeras). Wajah agama yang secara sosiologis membebækan tampak dalam potensi
agama untuk melakukan transformasi sosial yang radikal. kata lain, agama membebaskan
apabila ia hubungan kita yang sangat dekat dengan Tuhan serta sesama manusia
maupun dengan alam semesta. Sedangkan di luarnya, hanya mengenai tata caranya.
Karena itu, kalau kita masih bersengketa mengenai agama dalam soal tetek-bengek
lahiriahnya, maka hal itu merupakan suatu kemunduran.
Apa yang disinyalir Romo Mangun ini
mestinya menjadi perhatian kita pula. Seringkali kita tidak sanggup membedakan
manakah yang Cara formal agamawi, dan manakah yang menyangkut inti keberadaan
seseorang dalam hubungannya dengan sesama. Karena penekanan kita yang begitu
kuat pada hal-hal formal, maka kita terperangkap dalam kekakuan-kekakuan
dramatis. Apalagi kalau hal ini dikaitkan dengan ambisi-ambisi kekuasaan, di
mana agama diperalat untuk mencapainya, maka "amat tidak lagi memberikan
kesejukan dalam hubungan-hubungan sosial, sebaliknya menciptakan
ketegangan-ketegangan.
Interpretasi yang dangkal terhadap
hakikat agama itu begitu mengasyikkan kita kjta tidak sadar bahwa yang kita
peroleh bukanlah "api" agama, tetapi "abu'mya saja. Puluhan
tahun lalu, Bung Karno sudah menyerukan agar umat Islam Indonesia menghayati
agamanya sedemikian rupa sehinwa sungguh-sunguh api Islamlah yang diperoleh,
dan bukan abunya saja. Walaupun seruan Bung Karno ini secara khusus ditujukan
kepada umat Islam, namun hal tersebut juga relevan bagi umat-umat lainnya.
Keriuhrendahan umat Kristen dalam
kampanye-kampanye pekabaran Injil di lapangan•lapangan bola misal- nya,
cenderung merupakan petunjuk bahwa bukan api Injil yang kita peroleh, yang
notabene adalah ' 'kabar baik", tetapi hanya abunya. Kalau sungguh-sunguh
hanya abu yang kita peroleh. maka kabar baik itu telah berubah menjadi kabar
buruk Kecenderungan kehidupan agamawi formal seperti ini justru merupakan objek
teguran Yesus ketika la berhadapan dengan para ahli Taurat. "lika hidup
keagamaanmu," kata Yesus, "tidak lebih benar daripada hidup keagamaan
ahli.ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke
dalam Kerajaan Sorga" (Mat. 5:20).
Upacara perkabungan nasional itu
sendiri diprakarsai mahUiswa dan para pemuda Kristen dan Katolik di Kodya
Kupang. Ternyata, upacara khidmat sedemikan rupa Oleh para provokator untuk
melakukan berbagai kerusuhan. Sayangnya, sampai sekarang pelakunya belum
ditemukan.
Akan tetapi, sebelum permasalahan
Kupang diselesaikan secara tuntas, meledaklah peristiwa Ambon yang jauh lebih
dahsyat, di mana orang-orang Islam berhadap-hadapan dengan orang-orang Kristen
dalam sejumlah "pertempuran" yang memakan kurban yang tidak Peristiwa
itu sendiri berlangsung berbulan-bulan. Tradisi Pela-Gandong yang selama ini
sakral, dan hampir-hampir merupakan mitos, mengalami desak•ulisasi dan
demitologisasi yang menyedihkan, entah kapan dapat dipulihkan lagi.
Menyiasati berbagai peristiwa itu,
yang walaupun secara mati-matian dijelaskan bukan konnik agama, namun kenyataan
tidak dapat kita sangkal, bahwa ada nuansa-nuansa agama di dalamnya. Kita bertanya-tanya,
apakah memang masih perlu kerukunan hidup umat beragama di negeri ini? Benarkah
yang selama ini didengung-dengungkan bahwa Indonesia adalah contoh negara yang
memiliki sikap hidup berkeagamaan yang rukun dan tidak ada duanya di dunia?
E.
Rekayasa Aktor Intelektual?
Mencermati berbagai peristiwa
tersebut kita tentu bertanya, ada apa di balik semua ini? Apakah semua
peristiwa itu adalah hasil rekayasa tangan-tangan yang tidak kelihatan (the
invisible hands), yaitu aktor intelektual, atau hanya sekadar aksi-aksi spontan,
atau gabungan dari keduanya? Apakah aksi-aksi itu ditujukan kepada umat
tertentu, dalam hal ini umat Kristen dan etnis Cina, atau mereka hanya menerima
imbasnya saja? Kalau benar bahwa aksi-aksi itu dengan sengaja ditujukan kepada
umat tertentu, lalu apakah motivasinya? Kalaupun bukan itu alasannya,
pertarungan-pertarungan macam apakah yang sedang berlangsung di kalangan para
elite penguasa kita yang secara tidak senonoh mempergunakan emosi-emosi
keagamaan dan kesukuan untuk mencapai tujuan politik mereka? pertanyaan terakhir
ini tampaknya pantas diajukan berkaitan dengan memanasnya suhu politik.
lebih.lebih menjelang Pemilu (tahun 1997), dan masih banyak pertanyaan lain
yang tetap sulit ditemukan jawabannya.
Tampaknya kita semua tidak mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kecuali kalau sejarah Indonesia
ditulis kernbali Oleh orang-orang yang jujur, yang keprihatinannya
sunguh-su.uh. yaitu mau menegakkan keadilan dan kebenaran serta mau meluruskan
sejarah yang selama ini telah dilencengkan Orde Baru. Kita tetap berada dalam
"rumor-rumor". desas-desus, suatu ciri yang menoniol dalam sebuah
negara yang persnya dibatasi dalam berbagai pemberitaannya.
Pernyataan-pernyataan para pejabat Eta sulit, kalau tidak mau dikatakan
simpang-siur.
F.
Konflik Kristen-Islam?
Kesimpangsiuran pernyataan tentang
berbagai peristiwa di tanah air menyebabkan orang bertanya-tanya, apakah di
Indonesia sedang berlangsung konflik agama, khususnya antara umat Kristen dan
umat Islam? Hal seperti ini tentu tidak aneh dan mengherankan kita.
Pertanyaan-pertanyaan serupa tidak saja diajukan di dalam negeri, tetapi juga
di luar negeri. Saya sendiri pernah diwawancarai oleh radio Berlin mengenai hal
ini, dan hams memberikan jawaban jujur tetapi sekaligus juga membela Citra
bangsa ini di mata dunia. Jawaban-jawaban resmi yang diberikan oleh pemerintah
adalah: tidak! Di Indonesia tidak terjadi konflik agama, apalagi perang agama.
Dan kita ingin percaya pada jawaban itu, sebab kalau yang terjadi
sunguh-sungguh konflik atau perang agama, maka akibatnya jauh lebih buruk dari
yang kita alami sekarang.
Kita belajar dari sejarah bahwa
suatu konflik yang dimotivasi agama akan berakibat sangat luas, baik fisik
maupun mental, dan akan sangat sulit disembuhkan. Ikndarn tidak pernah akan
selesai dalam satu atau generasi. Peperangan antara Bosnia dan Serbia beberapa
tahun lalu misalnya. mempunyai sejarah yang sangat panjang ketika Turki menduduki
Eropa pada abad ke-16. Pada waktu itu, orang-orang Bosnia memihak Turki
menindas Serbia. Dendun sudah lama bam sekarang ' 'tersalur karena ada
fütor-fütor pencetusnya. Beberapa tu lalu kita juga menyaksikan pengusiran
keturunan Albania yang beragama Islam dari Kosovo oleh suku Serbia yang
beragama Kristen Ortodoks.
Hal inilah yang menyebabkan NATO
melakukan pemboman besar-besaran terhadap Yugoslavia dan kemudian sejarahnya
menjadi panjang sekali. (Sementara itu, merupakan hal yang menarik menyaksikan
aEi Immintaan maaf dari sekelompok Kristen yang menguniungi Yerusalem baru-baru
ini. Hal ini berkaitan dengan perang Salib yang dilakukan pada Abad
Pertengahan, di mana urnat Islam dan Yahudi telah menjadi kurban, setelah
mereka mengadakan napak tilas melalui rute-rute yang dulunya dilalui para
prajurit tersebut).
Kita juga menyaksikan perseteruan
antara kaum Protestan dan Kato di Irlandia, yang walaupun telah dicampuri
sentimen-sentimen kesukuan antara suku Ulster dan Irish, tidak urung emosi
keagamaan jauh lebih menonjol. Di Asia, khususnya di Sri Lanka, pertentangan antara
mereka yang beragama Hindu dan yang beragama Buddha sampai Saat ini selesai
juga. Semua contoh tersebut mengindikasikan bahwa tidak mudah menghilangkan
dendam yang dimotivasi agama.
Tentu saja kita tidak menghendaki
konflik-konflik yang bermotifkan agama tersebut terjadi di negeri ini, sebab
akibatnya akan sangat fatal. Dalam setiap peperangan yang agama, selalu
tersembunyi perasaan mau menang sendiri. Dan sampai sekarang ada pertanyaan
yang belum terjawab yaitu, mengapa justru rumah-rumah ibadah yang menjadi
sasaran? Sangat ironis bahwa baru di era Orde Baru ini ada sekian banyak gedung
gereja dimusnahkan. Padahal di era Orde lama. bahkan pada zaman penjajahan
Belanda, kita tidak pernah mendengar kejadian semacam itu.
Para mereka dan pernimpin umat Islam
meyakinkan kita melalui berbagai pernyataannya bahwa agama Islam melarang
perusakan rumah-rumah ibadah. Teladan ini diberikan Nabi Muhammad. Beliau
melarang perusakan biara. gereja-gereja, sinagoga-sinagoga dan sebagainya
ketika Islam mulai melebarkan sayapnya segera sesudah kelahirannya di negeri
Arab. Bahkan Al-Qur’an sebagai otoritas tertinwi juga mencantumkan pelarangan
dan pencemaran rumah-rumah ibadah. Namun tetap saja menjadi mengapa perusakan
rumah-rurnah ibadah terjadi? pertanyaan ini membäwa kita pada pertanyaan yang
lebih mendasar, mengapa yang berada pada aras normatif tidak terlihat dampaknya
pada aras pruksis? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, imbagai kemungkinan
jawaban dapat dikemukakan. Salah satu jawaban yang mungkin adalah sesungguhnya
pembinaan umat kurang baik Ada stigma tertentu yang dilekatkan pada umat lain,
sehinua gampang sekali umat lain itu menjadi amukan apabila mereka (umat
beragama yang merasa dirugikan itu) mengalami persoalan.
Tetapi mengapa stigma seperti itu
harus ada? Pertanyaan ini juga membutuhkan jawaban jujur dan transparan.
Dapatlah dikatakan bahwa, walaupun hal tersebut bukan konflik agama, namun
tidak dapat disangkal bahwa ada nuansa-nuansa keagamaan di dalamnya. Pertanyaan
lain adalah, apakah peristiwa-peristiwa itu disebabkan Oleh kesenjangan sosial?
Jawabannya mungkin benar, mungkin
juga tidak. Jika benar bahwa kerusuhan-kerusuhan itu dipicu kesenjangan sosial,
mestinya rumah-rumah ibadah tidak perlu menjadi sasar-an Karena itu, maka umat
tertentu (dalam hal ini umat Kristen) telah menjadi kambing hitam (scapcoat)
persoalan-persoalan scxial yang sebenarnya berada di luar jawab mereka. Tuduhan
bahwa seakan-akan umat Kristen kaya sedangkan urnat Islam miskin agaknya
terlalu didmmatisir, digenemlisir dan diabstmkir. Sebab kenyataannya ada sekian
banyak umat Kristen yang miskin. khususnya mereka yang berada di lingkaran luar
nusantara (mulai dari sampai Irian Jaya).
Di pihak lain, kita tidak dapat
memungkiri fakta bahwa banyak juga orang Islam yang kaya. Karena itu, makin
kuat sinyalemen bahwa benar umat beragama hanya diperalat untuk mencapai
tujuan•tujuan jangka pendek dari mereka yang mempunyai ambisi-ambisi kekuasaan
(politik dan ekonomi), yang justru melawan keluhuran agama-agama itu sendiri.
Ada "beban sejarah" yang
dipikul baik Oleh umat Islam maupun umat Kristen. Walaupun pada zaman kolonial.
Pemerintah Belanda lama sekali mengambil sikap netral terhadap agama-agama,
namun dengan diterapkannya kebijakan dan politik etis pada awal abad ke-20,
khususnya di bawah Gubernur Jenderal Idenburg, terdapat kecenderungan untuk
lebih memberi peluang kepada umat Kristen, khususnya di daerah-daerah tertentu.
Tentu saja hal ini menyebabkan kecemburuan umat Islam terhadap umat Kristen
yang hinga kini menjadi beban sejarah.
Apa yang dikemukakan di atas
hanyalah sekadar contoh dari sekian banyak "beban" tersebut.
Tampaknya tidak berlebihan apabila kita ngatakan bahwa itulah "salib"
bersama yang tetap dipikul bangsa Indonesia hinua Saat ini. Bagaimanakah dengan
kekristenan itu sendiri? Menurut Kraemer, kekristenan adalah satu dari
agama-agama dunia yang mempunyai kedudukan yang sama dengan agama-agama
lainnya. Karena itu, tidak ada alasan bagi agama Kristen untuk Inerasa diri
superior terhadap agama-agama lainnya. Karena itu, Kraemer mengatakan bahwa
kekristenan tidak pernah boleh menjadi beatus possidens dari kebenaran yang
siap jadi.
Menurutnya, merupakan kekeliruan
jika memperlakukan kekristenan yang empiris itu, yang justru terhisab Oleh
ranah sejarah yang relatif ini, sebagai yang mempunyai watak absolut. Namun
Kraemer membedakan pula antara apa yang disebutnya kekristenan sebagai agama
historis dan agama Kristen yang mempunyai watak penyingkapan (Christian
levelaåon). Di sini jelas, Kraemer toh memperlihatkan posisi kekristenan yang
berbeda dengan agama-agama lainnya.
Apakah sumber pengetahuan tentang
agama? Menurut Woly, hal itu didasarkannya pada, dan dijabarkannya dari gagasan
fundamental tentang "penyataan Allah" dan "iman Kristen"
sebagaimana ditampilkan Alkitab. Untuk itu Kraemer memperkenalkan paham tentang
Biblical realism (realisme Alkitab), yaitu realisme menurut Alkitab yang
bersifat teosenths. Karena itu, Alkitab dipandang sebagai bimbingan normatif
bagi teologis kita. Yang sentral dan fundamental dalam Alkitab adalah pekeriaan
serta penebusan Allah terhadap manusia dan dunia. Dengan demikian, Alkitab
menangani manusia dan Allah secara radikal dan serius.
Menurut Kraemer, realisme itu
disampaikan Wcara unik melalui penyataan Allah dalam Yesus Kristus. Di dalam
Dialah Allah menyatakan diri secara "realistis", dan sekaligus juga
menyingkapkan status keberdosaan manusia. Inilah yang dimaksudkan dengan
Kristen" (Chrisåan revelation), yang sama sekali berbeda dengan kekristenan
dan/atau teologi Kristen atau pandangan Kristen. Penyingkapan Kristen,
sebagaimana diperlihatkan dalam seluruh hidup dan karya Yesus Kristus, adalah
mutlak dan definitif. Karena itu ia juga unik. Hal ini berhubungan dengan
keselamatan yang terjadi dalam sejarah dunia.
Lalu bagaimana dengan Islam? Bagi
Kraemer tidak diragukan bahwa Islam adalah juga agama penyataan. Secara
historis, Islam adalah salah satu cabang Yudaisme dan kekristenan yang bersifat
profetis. Karena itu ada hubungan khusus antara Islam dan kekristenan. Tetapi
lebih dalam dari itu, dengan diinspirasikan oleh pandangannya tentang realisme
Alkitab tersebut, Kraemer mengatakan bahwa Islarn lahir dalam bayangan realisme
Alkitab. Islam mempunyai asal•usul profetis dan mempunyai relasi-relasi yang
mesra dengan iklim realisme Alkitab. Nabi Muhammad menyampaikan amanat Allah
yang rahmani dan rahimi sebagai penyataan Allah secara langsung. Hal inilah
yang membedakan Islam dari agama-agama alam- Jadi, Kraemer memang mengakui
Islam sebagai agama penyataan, tetapi pada Saat yang sama ia menempatkannya di
bawah penghakiman realisme Alkitab.
Pandangan ini membawa Kraemer pada
ajakan untuk bersikap Insitif terhadap Islam. Bagaimanakah sikap positif itu
diwujudkan? Di sini ia mencoba menerjemahkan "kehadiran misioner",
dengan dua tugas, yaitu kesaksian dan pelayanan sebagai hubungan antar pribadi
(interpersonal relationship) antara orang Muslim dan orang Kristen. Di sini
persoalannya bukanlah perkara doktrin atau dogma. Menurut Kraemer, orang Muslim
diperlakukan bukan sebagai non-Kristen tetapi. Sebagai sesama manusia dengan
berbagai kebutuhan fundamental, aspirasi dan frustrasi yang sama. Bagaimana
pandangan Kraemer mengenai hubungan antar-agama? Tidak diragukan bahwa ia
memandang relasi itu sebagai hal penting. Bukunya yang terakhir berjudul World
Cultures and World Religions, Coming Dialogue (London, 1960). secara ielas
mengindikasikan urgensi relasi itu antara lain melalui dialog. Ada beberapa
alasan mengapa ia mengatakan bahwa dialog itu penting. Adanya kesadaran yang
makin besar mengenai kemajemukan agama, juga bertumbuh dan berkembangnya sekularisme
baik di Barat maupun di Timur, antara lain menjadi alasan mengapa dialog
antar•agama menjadi suatu kebutuhan. Kemajemukan agama bukan saja berarti bahwa
agama yang dikenal umat manusia banyak, tetapi terutama "hidup"nya
kembali (resurgence) agama-agama Timur yang tadinya belum terlalu dikenal,
misalnya di Barat. Agar dapat berdialog jujur, maka perlu adanya
broadmindadness. Tidak dapat disangkal bahwa berdialog membutuhkan toleransi.
Menurut dia, toleransi adalah gejala perilaku agamawi yang benar dan sangat
dibutuhkan dalam menghadapi persoalan•persoalan kemanusiaan. la menegaskan
bahwa agama Kristen adalah "iman yang toleran" (tolerant faith).
Itulah respons terhadap kasih Allah di dalam Yesus Kristus.
KESIMPULAN
Pentingnya kerukunan hidup antar
umat beragama adalah terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis dalam
kedamaian, saling tolong menolong, dan tidak saling bermusuhan agar agama bisa
menjadi pemersatu bangsa Indonesia yang secara tidak langsung memberikan
stabilitas dan kemajuan Negara. Cara menjaga sekaligus mewujudkan kerukunan
hidup antar umat beragama adalah dengan mengadakan dialog antar umat beragama
yang di dalamnya membahas tentang hubungan antar sesama umat beragama. Saran
yang dapat diberikan untuk masyarakat di Indonesia supaya menanamkan sejak dini
pentingnya menjaga kerukunan antar umat beragama agar terciptanya hidup rukun
antar sesama sehingga masyarakat merasa aman, nyaman dan sejahtera.
No comments:
Post a Comment
Official Virgozta