Monday, June 12, 2017

Tugas Meringkas Buku Agama dan Kerukunan Karangan DR. AA Yewangoe



Nama               : SURIYAH S
N I M              : 01041504
Sekolah           : STT Lintas Budaya
Mata Kuliah    : Islamologi
Dosen              : Ibu Sri Supena, M.Th
Tugas              : Meringkas Buku Agama dan Kerukunan
                          Karangan DR. AA Yewangoe

A.    Haruskah Kita Memahami Pokok-pokok Ajaran Agama Lain?
Pernyataan di atas sesungguhnya tidak mengada-ada, sebab pada waktu-waktu yang lalu berkembang pemahaman bahwa mendengarkan apa yang dikatakan orang lain tentang agamanya merupakan hal yang tabu. Kalaupun agama orang lain dipelajari, hal itu dilakukan tidak lebih sebagai upaya menemukan kelemahan agama tersebut dan kemudian menaklukkannya. Ketidaktahuan terhadap pokok-pokok ajaran agama lain itu tidak jarang membuat orang terperangkap dalam terhadap para penganut agama yang bersangkutan itu.

B.     Indonesia Masyarakat Majemuk
Kita tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah negara bermasyarakat majemuk. Malah kemajemukan itu, baik dari segi agama maupun etnis dan suku telah membentuk Indonesia. Said Aqil Siraj, tokoh NU, dalam salah satu kesempatan misalnya menegaskan bahwa Indonesia tanpa Islam, Kristen, Hindu dan Buddha tidak dapat dibayangkan keberadaannya. Dengan kata lain, tidak mungkin kita menolak kenyataan bahwa rakyat Indonesia itu terdiri dari sekian banyak kemajemukan. Kenyataan ini membawa kita pada kenyataan lain bahwa kita tidak mungkin tetap berada dalam isolasi-isolasi, baik yang bersifat geografis maupun mental.
Komunikasi, baik melalui radio, televisi maupun surat-surat kabar yang dewasa ini makin lama makin canggih. selain mobilitas penduduk yang makin lancar, membuka banyak kemungkinan penyampaian pesan-pesan agama kepada siapa pun tanpa memandang latar agama para pendengarnya. Contohnya TVRI, pagi-pagi sekali kita sudah disuguhi Kuliah Subuh. Sebagai pemirsa, kita tidak akan dipaksa, melainkan bebas memutuskan apahh mau terus mengikutinya atau tidak. Setiap hari Mingu malam kita juga disuguhi Mimbar Agama Kristen, baik protestan maupun Katolik Selain itu ada juga Agama Hindu, Agama Buddha, bahkan juga Mirntx,lr an Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Melalui mimbar-mimbar seperti inilah setiap warga negara diberikan kesempatan bukan saja untuk mendalami agamanya sendiri, tetapi juga berusaha memahami agama-agama lainnya.

C.    Apakah Makna Memahami?
Memahami tidak mesti berarti kita meyakini ajaran suatu agama sebagaimana penganut agama tersebut meyakininya. Namun hal ini mengharuskan kita mencoba mengerti mengapa saudara-saudara kita yang beragama Islam, misalnya, melakukan shalat lima kali sehari, atau bagaimana mereka menjalankan puasa. Kita juga dapat mengerti mengapa mereka naik haji, dengan berbagai kesulitan yang dihadapi mereka selama melakukan ibadah itu, dan juga nikmat yang mereka peroleh apabila mereka "lulus" dalam menjalankannya. Dengan demikian. kita dapat lebih menghargai mereka.
Terhadap yang beragama Katolik misalnya, kita berupaya mengerti mengapa mereka menghormati hostia sebagai Tubuh Kristus. Atau menyangkut kaum Kristen Protestan, Eta mencoba memahami mengapa penelahaan Alkitab menjadi begitu penting dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dan seterusnya.
Gambaran di tentu saja belum sepenuhnya mencakup berbagai pokok penting dalam berbagai ajaran agama-agama tersebut. Namun tidak-tidaknya. dengan pengetahuan yang sedikit, kita dihindarkan dari pandangan-pandangan picik dan sempit mengenai agama-agama lain, mana para penganut agama-agama itu hidup bersama dan belum diprovoksi pihak-pihak tertentu, "dialog karya" secara spontan telah berlaku.
Perhatikan saja pada Saat berlangsungnya hari-hari raya keagamaan. Secara spontan, penganut agama yang satu memberi selamat kepada penganut agama lainnya tanpa mempertanyakan secara pelik apakah ia salah atau benar kalau ia menyalami sesamanya itu. Namun sayang sekali, fatwa yang melarang orang Islam untuk memberi selamat kepada umat Kristen pada perayaan Natal mempersulit pengungkapan hal tersebut dalam kehidupan bersama umat beragama. Padahal berbagai hubungan seperti ini mestinya merupakan hubungan-hubungan wajar dalam sebuah masyarakat manusia. Dan agama mempunyai maüu kemanusiaan itu.
Akan tetapi, apakah dengan mengemukakan hal ini kita hendak menganiurkan sinkretisrne agama-agama? Sama sekali tidak! Dalam sinkretisme kita mencampurbaurkan berbagai unsur dari berbagai agama (laksana seorang tukang gado-gado yang mencampurkan banyak sayur-mayur), dan kemudian menghasilkan sebuah "agama" baru yang sama sekali berbeda dengan agama-agama yang sudah ada. Dengan melakukan itu kita mengkhianati agama-agama. Karena itu, dalam perternuan penganut agama-agama yang berbeda-beda, kita tetap menghormati integritas agama-agama tersebut.

D.    Agama Bersifat Ambigu
Agama memang bersifat ambigu, sebab dapat sekaligus membebaskan dan memperbudak penganutnya. Aloysius Pieris. rohaniwan Katolik dari Sri Lanka, menegaskan ambiguitas agama ini dalam banyak tulisannya.
Menurutnya, dalam wajahnya yang psikologis, watak memperbudak agama terwujud dalam takhayul, ritualisme, dogmatisme dan transendentalisme, sedangkan dalam wajahnya yang secara sosiologis memperbudak. agama cenderung mengabsahkan suatu struktur status quo yang menindas. Di pihak lain, wajah agama yang secara psikologis membebaskan dapat dilihat dalam pembebasan batin dari dosa (mamon, antiAllah. naluri-naluri memeras). Wajah agama yang secara sosiologis membebækan tampak dalam potensi agama untuk melakukan transformasi sosial yang radikal. kata lain, agama membebaskan apabila ia hubungan kita yang sangat dekat dengan Tuhan serta sesama manusia maupun dengan alam semesta. Sedangkan di luarnya, hanya mengenai tata caranya. Karena itu, kalau kita masih bersengketa mengenai agama dalam soal tetek-bengek lahiriahnya, maka hal itu merupakan suatu kemunduran.
Apa yang disinyalir Romo Mangun ini mestinya menjadi perhatian kita pula. Seringkali kita tidak sanggup membedakan manakah yang Cara formal agamawi, dan manakah yang menyangkut inti keberadaan seseorang dalam hubungannya dengan sesama. Karena penekanan kita yang begitu kuat pada hal-hal formal, maka kita terperangkap dalam kekakuan-kekakuan dramatis. Apalagi kalau hal ini dikaitkan dengan ambisi-ambisi kekuasaan, di mana agama diperalat untuk mencapainya, maka "amat tidak lagi memberikan kesejukan dalam hubungan-hubungan sosial, sebaliknya menciptakan ketegangan-ketegangan.
Interpretasi yang dangkal terhadap hakikat agama itu begitu mengasyikkan kita kjta tidak sadar bahwa yang kita peroleh bukanlah "api" agama, tetapi "abu'mya saja. Puluhan tahun lalu, Bung Karno sudah menyerukan agar umat Islam Indonesia menghayati agamanya sedemikian rupa sehinwa sungguh-sunguh api Islamlah yang diperoleh, dan bukan abunya saja. Walaupun seruan Bung Karno ini secara khusus ditujukan kepada umat Islam, namun hal tersebut juga relevan bagi umat-umat lainnya.
Keriuhrendahan umat Kristen dalam kampanye-kampanye pekabaran Injil di lapangan•lapangan bola misal- nya, cenderung merupakan petunjuk bahwa bukan api Injil yang kita peroleh, yang notabene adalah ' 'kabar baik", tetapi hanya abunya. Kalau sungguh-sunguh hanya abu yang kita peroleh. maka kabar baik itu telah berubah menjadi kabar buruk Kecenderungan kehidupan agamawi formal seperti ini justru merupakan objek teguran Yesus ketika la berhadapan dengan para ahli Taurat. "lika hidup keagamaanmu," kata Yesus, "tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli.ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga" (Mat. 5:20).
Upacara perkabungan nasional itu sendiri diprakarsai mahUiswa dan para pemuda Kristen dan Katolik di Kodya Kupang. Ternyata, upacara khidmat sedemikan rupa Oleh para provokator untuk melakukan berbagai kerusuhan. Sayangnya, sampai sekarang pelakunya belum ditemukan.
Akan tetapi, sebelum permasalahan Kupang diselesaikan secara tuntas, meledaklah peristiwa Ambon yang jauh lebih dahsyat, di mana orang-orang Islam berhadap-hadapan dengan orang-orang Kristen dalam sejumlah "pertempuran" yang memakan kurban yang tidak Peristiwa itu sendiri berlangsung berbulan-bulan. Tradisi Pela-Gandong yang selama ini sakral, dan hampir-hampir merupakan mitos, mengalami desak•ulisasi dan demitologisasi yang menyedihkan, entah kapan dapat dipulihkan lagi.
Menyiasati berbagai peristiwa itu, yang walaupun secara mati-matian dijelaskan bukan konnik agama, namun kenyataan tidak dapat kita sangkal, bahwa ada nuansa-nuansa agama di dalamnya. Kita bertanya-tanya, apakah memang masih perlu kerukunan hidup umat beragama di negeri ini? Benarkah yang selama ini didengung-dengungkan bahwa Indonesia adalah contoh negara yang memiliki sikap hidup berkeagamaan yang rukun dan tidak ada duanya di dunia?

E.     Rekayasa Aktor Intelektual?
Mencermati berbagai peristiwa tersebut kita tentu bertanya, ada apa di balik semua ini? Apakah semua peristiwa itu adalah hasil rekayasa tangan-tangan yang tidak kelihatan (the invisible hands), yaitu aktor intelektual, atau hanya sekadar aksi-aksi spontan, atau gabungan dari keduanya? Apakah aksi-aksi itu ditujukan kepada umat tertentu, dalam hal ini umat Kristen dan etnis Cina, atau mereka hanya menerima imbasnya saja? Kalau benar bahwa aksi-aksi itu dengan sengaja ditujukan kepada umat tertentu, lalu apakah motivasinya? Kalaupun bukan itu alasannya, pertarungan-pertarungan macam apakah yang sedang berlangsung di kalangan para elite penguasa kita yang secara tidak senonoh mempergunakan emosi-emosi keagamaan dan kesukuan untuk mencapai tujuan politik mereka? pertanyaan terakhir ini tampaknya pantas diajukan berkaitan dengan memanasnya suhu politik. lebih.lebih menjelang Pemilu (tahun 1997), dan masih banyak pertanyaan lain yang tetap sulit ditemukan jawabannya.
Tampaknya kita semua tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kecuali kalau sejarah Indonesia ditulis kernbali Oleh orang-orang yang jujur, yang keprihatinannya sunguh-su.uh. yaitu mau menegakkan keadilan dan kebenaran serta mau meluruskan sejarah yang selama ini telah dilencengkan Orde Baru. Kita tetap berada dalam "rumor-rumor". desas-desus, suatu ciri yang menoniol dalam sebuah negara yang persnya dibatasi dalam berbagai pemberitaannya. Pernyataan-pernyataan para pejabat Eta sulit, kalau tidak mau dikatakan simpang-siur.

F.     Konflik Kristen-Islam?
Kesimpangsiuran pernyataan tentang berbagai peristiwa di tanah air menyebabkan orang bertanya-tanya, apakah di Indonesia sedang berlangsung konflik agama, khususnya antara umat Kristen dan umat Islam? Hal seperti ini tentu tidak aneh dan mengherankan kita. Pertanyaan-pertanyaan serupa tidak saja diajukan di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Saya sendiri pernah diwawancarai oleh radio Berlin mengenai hal ini, dan hams memberikan jawaban jujur tetapi sekaligus juga membela Citra bangsa ini di mata dunia. Jawaban-jawaban resmi yang diberikan oleh pemerintah adalah: tidak! Di Indonesia tidak terjadi konflik agama, apalagi perang agama. Dan kita ingin percaya pada jawaban itu, sebab kalau yang terjadi sunguh-sungguh konflik atau perang agama, maka akibatnya jauh lebih buruk dari yang kita alami sekarang.
Kita belajar dari sejarah bahwa suatu konflik yang dimotivasi agama akan berakibat sangat luas, baik fisik maupun mental, dan akan sangat sulit disembuhkan. Ikndarn tidak pernah akan selesai dalam satu atau generasi. Peperangan antara Bosnia dan Serbia beberapa tahun lalu misalnya. mempunyai sejarah yang sangat panjang ketika Turki menduduki Eropa pada abad ke-16. Pada waktu itu, orang-orang Bosnia memihak Turki menindas Serbia. Dendun sudah lama bam sekarang ' 'tersalur karena ada fütor-fütor pencetusnya. Beberapa tu lalu kita juga menyaksikan pengusiran keturunan Albania yang beragama Islam dari Kosovo oleh suku Serbia yang beragama Kristen Ortodoks.
Hal inilah yang menyebabkan NATO melakukan pemboman besar-besaran terhadap Yugoslavia dan kemudian sejarahnya menjadi panjang sekali. (Sementara itu, merupakan hal yang menarik menyaksikan aEi Immintaan maaf dari sekelompok Kristen yang menguniungi Yerusalem baru-baru ini. Hal ini berkaitan dengan perang Salib yang dilakukan pada Abad Pertengahan, di mana urnat Islam dan Yahudi telah menjadi kurban, setelah mereka mengadakan napak tilas melalui rute-rute yang dulunya dilalui para prajurit tersebut).
Kita juga menyaksikan perseteruan antara kaum Protestan dan Kato di Irlandia, yang walaupun telah dicampuri sentimen-sentimen kesukuan antara suku Ulster dan Irish, tidak urung emosi keagamaan jauh lebih menonjol. Di Asia, khususnya di Sri Lanka, pertentangan antara mereka yang beragama Hindu dan yang beragama Buddha sampai Saat ini selesai juga. Semua contoh tersebut mengindikasikan bahwa tidak mudah menghilangkan dendam yang dimotivasi agama.
Tentu saja kita tidak menghendaki konflik-konflik yang bermotifkan agama tersebut terjadi di negeri ini, sebab akibatnya akan sangat fatal. Dalam setiap peperangan yang agama, selalu tersembunyi perasaan mau menang sendiri. Dan sampai sekarang ada pertanyaan yang belum terjawab yaitu, mengapa justru rumah-rumah ibadah yang menjadi sasaran? Sangat ironis bahwa baru di era Orde Baru ini ada sekian banyak gedung gereja dimusnahkan. Padahal di era Orde lama. bahkan pada zaman penjajahan Belanda, kita tidak pernah mendengar kejadian semacam itu.
Para mereka dan pernimpin umat Islam meyakinkan kita melalui berbagai pernyataannya bahwa agama Islam melarang perusakan rumah-rumah ibadah. Teladan ini diberikan Nabi Muhammad. Beliau melarang perusakan biara. gereja-gereja, sinagoga-sinagoga dan sebagainya ketika Islam mulai melebarkan sayapnya segera sesudah kelahirannya di negeri Arab. Bahkan Al-Qur’an sebagai otoritas tertinwi juga mencantumkan pelarangan dan pencemaran rumah-rumah ibadah. Namun tetap saja menjadi mengapa perusakan rumah-rurnah ibadah terjadi? pertanyaan ini membäwa kita pada pertanyaan yang lebih mendasar, mengapa yang berada pada aras normatif tidak terlihat dampaknya pada aras pruksis? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, imbagai kemungkinan jawaban dapat dikemukakan. Salah satu jawaban yang mungkin adalah sesungguhnya pembinaan umat kurang baik Ada stigma tertentu yang dilekatkan pada umat lain, sehinua gampang sekali umat lain itu menjadi amukan apabila mereka (umat beragama yang merasa dirugikan itu) mengalami persoalan.
Tetapi mengapa stigma seperti itu harus ada? Pertanyaan ini juga membutuhkan jawaban jujur dan transparan. Dapatlah dikatakan bahwa, walaupun hal tersebut bukan konflik agama, namun tidak dapat disangkal bahwa ada nuansa-nuansa keagamaan di dalamnya. Pertanyaan lain adalah, apakah peristiwa-peristiwa itu disebabkan Oleh kesenjangan sosial?
Jawabannya mungkin benar, mungkin juga tidak. Jika benar bahwa kerusuhan-kerusuhan itu dipicu kesenjangan sosial, mestinya rumah-rumah ibadah tidak perlu menjadi sasar-an Karena itu, maka umat tertentu (dalam hal ini umat Kristen) telah menjadi kambing hitam (scapcoat) persoalan-persoalan scxial yang sebenarnya berada di luar jawab mereka. Tuduhan bahwa seakan-akan umat Kristen kaya sedangkan urnat Islam miskin agaknya terlalu didmmatisir, digenemlisir dan diabstmkir. Sebab kenyataannya ada sekian banyak umat Kristen yang miskin. khususnya mereka yang berada di lingkaran luar nusantara (mulai dari sampai Irian Jaya).
Di pihak lain, kita tidak dapat memungkiri fakta bahwa banyak juga orang Islam yang kaya. Karena itu, makin kuat sinyalemen bahwa benar umat beragama hanya diperalat untuk mencapai tujuan•tujuan jangka pendek dari mereka yang mempunyai ambisi-ambisi kekuasaan (politik dan ekonomi), yang justru melawan keluhuran agama-agama itu sendiri.
Ada "beban sejarah" yang dipikul baik Oleh umat Islam maupun umat Kristen. Walaupun pada zaman kolonial. Pemerintah Belanda lama sekali mengambil sikap netral terhadap agama-agama, namun dengan diterapkannya kebijakan dan politik etis pada awal abad ke-20, khususnya di bawah Gubernur Jenderal Idenburg, terdapat kecenderungan untuk lebih memberi peluang kepada umat Kristen, khususnya di daerah-daerah tertentu. Tentu saja hal ini menyebabkan kecemburuan umat Islam terhadap umat Kristen yang hinga kini menjadi beban sejarah.
Apa yang dikemukakan di atas hanyalah sekadar contoh dari sekian banyak "beban" tersebut. Tampaknya tidak berlebihan apabila kita ngatakan bahwa itulah "salib" bersama yang tetap dipikul bangsa Indonesia hinua Saat ini. Bagaimanakah dengan kekristenan itu sendiri? Menurut Kraemer, kekristenan adalah satu dari agama-agama dunia yang mempunyai kedudukan yang sama dengan agama-agama lainnya. Karena itu, tidak ada alasan bagi agama Kristen untuk Inerasa diri superior terhadap agama-agama lainnya. Karena itu, Kraemer mengatakan bahwa kekristenan tidak pernah boleh menjadi beatus possidens dari kebenaran yang siap jadi.
Menurutnya, merupakan kekeliruan jika memperlakukan kekristenan yang empiris itu, yang justru terhisab Oleh ranah sejarah yang relatif ini, sebagai yang mempunyai watak absolut. Namun Kraemer membedakan pula antara apa yang disebutnya kekristenan sebagai agama historis dan agama Kristen yang mempunyai watak penyingkapan (Christian levelaåon). Di sini jelas, Kraemer toh memperlihatkan posisi kekristenan yang berbeda dengan agama-agama lainnya.
Apakah sumber pengetahuan tentang agama? Menurut Woly, hal itu didasarkannya pada, dan dijabarkannya dari gagasan fundamental tentang "penyataan Allah" dan "iman Kristen" sebagaimana ditampilkan Alkitab. Untuk itu Kraemer memperkenalkan paham tentang Biblical realism (realisme Alkitab), yaitu realisme menurut Alkitab yang bersifat teosenths. Karena itu, Alkitab dipandang sebagai bimbingan normatif bagi teologis kita. Yang sentral dan fundamental dalam Alkitab adalah pekeriaan serta penebusan Allah terhadap manusia dan dunia. Dengan demikian, Alkitab menangani manusia dan Allah secara radikal dan serius.
Menurut Kraemer, realisme itu disampaikan Wcara unik melalui penyataan Allah dalam Yesus Kristus. Di dalam Dialah Allah menyatakan diri secara "realistis", dan sekaligus juga menyingkapkan status keberdosaan manusia. Inilah yang dimaksudkan dengan Kristen" (Chrisåan revelation), yang sama sekali berbeda dengan kekristenan dan/atau teologi Kristen atau pandangan Kristen. Penyingkapan Kristen, sebagaimana diperlihatkan dalam seluruh hidup dan karya Yesus Kristus, adalah mutlak dan definitif. Karena itu ia juga unik. Hal ini berhubungan dengan keselamatan yang terjadi dalam sejarah dunia.
Lalu bagaimana dengan Islam? Bagi Kraemer tidak diragukan bahwa Islam adalah juga agama penyataan. Secara historis, Islam adalah salah satu cabang Yudaisme dan kekristenan yang bersifat profetis. Karena itu ada hubungan khusus antara Islam dan kekristenan. Tetapi lebih dalam dari itu, dengan diinspirasikan oleh pandangannya tentang realisme Alkitab tersebut, Kraemer mengatakan bahwa Islarn lahir dalam bayangan realisme Alkitab. Islam mempunyai asal•usul profetis dan mempunyai relasi-relasi yang mesra dengan iklim realisme Alkitab. Nabi Muhammad menyampaikan amanat Allah yang rahmani dan rahimi sebagai penyataan Allah secara langsung. Hal inilah yang membedakan Islam dari agama-agama alam- Jadi, Kraemer memang mengakui Islam sebagai agama penyataan, tetapi pada Saat yang sama ia menempatkannya di bawah penghakiman realisme Alkitab.
Pandangan ini membawa Kraemer pada ajakan untuk bersikap Insitif terhadap Islam. Bagaimanakah sikap positif itu diwujudkan? Di sini ia mencoba menerjemahkan "kehadiran misioner", dengan dua tugas, yaitu kesaksian dan pelayanan sebagai hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) antara orang Muslim dan orang Kristen. Di sini persoalannya bukanlah perkara doktrin atau dogma. Menurut Kraemer, orang Muslim diperlakukan bukan sebagai non-Kristen tetapi. Sebagai sesama manusia dengan berbagai kebutuhan fundamental, aspirasi dan frustrasi yang sama. Bagaimana pandangan Kraemer mengenai hubungan antar-agama? Tidak diragukan bahwa ia memandang relasi itu sebagai hal penting. Bukunya yang terakhir berjudul World Cultures and World Religions, Coming Dialogue (London, 1960). secara ielas mengindikasikan urgensi relasi itu antara lain melalui dialog. Ada beberapa alasan mengapa ia mengatakan bahwa dialog itu penting. Adanya kesadaran yang makin besar mengenai kemajemukan agama, juga bertumbuh dan berkembangnya sekularisme baik di Barat maupun di Timur, antara lain menjadi alasan mengapa dialog antar•agama menjadi suatu kebutuhan. Kemajemukan agama bukan saja berarti bahwa agama yang dikenal umat manusia banyak, tetapi terutama "hidup"nya kembali (resurgence) agama-agama Timur yang tadinya belum terlalu dikenal, misalnya di Barat. Agar dapat berdialog jujur, maka perlu adanya broadmindadness. Tidak dapat disangkal bahwa berdialog membutuhkan toleransi. Menurut dia, toleransi adalah gejala perilaku agamawi yang benar dan sangat dibutuhkan dalam menghadapi persoalan•persoalan kemanusiaan. la menegaskan bahwa agama Kristen adalah "iman yang toleran" (tolerant faith). Itulah respons terhadap kasih Allah di dalam Yesus Kristus.
KESIMPULAN
Pentingnya kerukunan hidup antar umat beragama adalah terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis dalam kedamaian, saling tolong menolong, dan tidak saling bermusuhan agar agama bisa menjadi pemersatu bangsa Indonesia yang secara tidak langsung memberikan stabilitas dan kemajuan Negara. Cara menjaga sekaligus mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama adalah dengan mengadakan dialog antar umat beragama yang di dalamnya membahas tentang hubungan antar sesama umat beragama. Saran yang dapat diberikan untuk masyarakat di Indonesia supaya menanamkan sejak dini pentingnya menjaga kerukunan antar umat beragama agar terciptanya hidup rukun antar sesama sehingga masyarakat merasa aman, nyaman dan sejahtera.



No comments:

Post a Comment

Official Virgozta